0
Saturday 18 May 2013 - 01:40
Infiltrasi Asing di Indonesia

Karyawannya Chevron di Gelandang Paksa Jaksa

Story Code : 264976
Karyawannya Chevron di Gelandang Paksa Jaksa

Kontraktor pekerjaan teknis bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang juga Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo akhirnya divonis dengan pidana penjara enam tahun. Herlan juga didenda Rp 250 juta subsider kurungan tiga bulan.

Perusahaan PT Sumigita Jaya juga diwajibkan membayar yang pengganti kerugian negara sebesar 6,9 juta dollar AS. Demikian putusan yang disampaikan Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Usai Kejaksaan Agung (Kejagung) menjemput paksa General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah, Chevron berang. Tindakan Kejagung disebutnya tidak hanya melanggar hukum, tapi melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Tindakan tersebut melanggar hak hukum dan hak asasinya dengan mengabaikan putusan pra peradilan yang sah dan telah membatalkan penetapannya sebagai tersangka terkait kasus bioremediasi yang telah disidik oleh Kejaksaan Agung," kata Presiden Direktur PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) Abdul Hamid Batubara dalam rilis Chevron kepada wartawan, Jumat (17/5/2013).

Hamid berargumen, Bachtiar telah diputus bebas dari tahanan selama 62 hari pada 27 November 2012 terkait kasus bioremediasi Chevron. Bebasnya Bachtiar dan tiga orang rekannya waktu itu karena penetapannya sebagai tersangka tidak disertai bukti yang cukup.

"Putusan pra peradilan tidak dapat diabaikan oleh siapapun tanpa adanya putusan resmi dari Mahkamah Agung (MA) yang memang menganulir putusan pra peradilan tersebut," imbuh Hamid dan diamini Managing Director Chevron Indonesia Jeff Shellebarger.

Sementara itu, Kejagung menjemput paksa Bachtiar karena berkas Bachtiar dinyatakan lengkap. Dia segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam kasus bioremediasi, Kejagung menetapkan 4 tersangka dari PT Chevron yakni Bachtiar, Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari, Widodo dan Alexiat Tirtawidjaja.

Dua tersangka lainnya adalah kontraktor proyek bioremediasi yaitu Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri dan Direktur PT Sumigita Jaya Herland Bin Ompo.

Dalam perkara ini, Ricksy divonis 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan dan uang pengganti US$ 3,089. Sedangkan Herland dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti US$ 6,9 juta.

Pihak Chevron dalam rilisnya bersikukuh bahwa mereka tidak bersalah. Mereka mengklaim pemerintah menguatkan bahwa mereka tak bersalah dan Kejagung berada dalam kesalahpahaman.

"Pengadilan telah mendengarkan kesaksian dari pejabat-pejabat dari SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa operasi Chevron taat hukum," pungkas Hamid.

“Sementara itu terdakwa Herlan bin Ompo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan belanjut,” kata Ketua Majelis Hakim, Sudharmawatiningsih.

Herlan diyakini bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana. Kerugian negara dihitung mencapai 3,089 juta dollar AS.

Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung yaitu pidana penjara 15 tahun, denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan, dan uang pengganti kerugian negara 6,9 juta dollar AS.

PT Sumigita Jaya dalam menjalankan proses bioremediasi dianggap tak mengantongi izin dari instansi yang bertanggung jawab. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun.

Dalam memproses limbah dengan cara bioremediasi, tahapan-tahapan yang dilakukan dianggap tak sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara Dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi Dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis.

Hakim beda pendapat

Seperti dalam vonis kontraktor Chevron sebelumnya yang menimpa Rikcsy Prematuri, dalam putusan Herlan juga tak tercapai kata mufakat dari majelis hakim. Hakim anggota IV yaitu Sofialdi berbeda pendapat atau mengajukan dissenting opinion atas keputusan bersalah Herlan.

Sofialdi berpendapat, terdakwa tak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah baik sesuai dakwaan primer maupun dakwaan subsider. Pekerjaan bioremediasi telah dilakukan PT Sumigita Jaya dan telah selesai serahkan kepada Chevron.

Sebagai kontraktor pekerjaan teknis, berdasarkan peraturan pemerintah, PT Sumigita Jaya juga tak harus mengurus izin sendiri karena kewajiban mengurus izin ada pada Chevron sebagai pemilik limbah.

Sofialdi juga mengungkapkan, pengambilan sampel yang dilakukan ahli kejaksaan Edison Effendi dan uji sampel yang hanya dilakukan di laboratorium dadakan di Kejagung, tak bisa digunakan sebagai bukti yang sah di persidangan. Uji sampel bertentangan dengan peraturan menteri tentang laboratorium lingkungan hidup yang tak bersertifikat.

“Hasilnya menjadi tidak valid dan tidak ilmiah, apalagi digunakan untuk menyatakan kesalahan sebuah perkara,” kata Sofialdi. Karena itu, unsur melawan hukum tak terbukti.

PT SGJ juga tak tunduk pada aturan Pedoman Tata Kerja (PTK) 007/2004 karena SGJ bukanlah perusahaan K3S. Aturan PTK 007 dikeluarkan untuk perusahaan K3S dalam hal ini Chevron. Apalagi, dalam PTK 007 tersebut ada pula disinggung soal perusahaan mampu yang bisa menjadi kontraktor pelaksana. [IT/HJ]
Comment