Masa Depan Suriah: Dampaknya Bagi Kekuatan Global dan Regional
Story Code : 1176743
Slogan "America First" yang menjadi inti agenda Trump hanya dapat terwujud jika Washington berhasil mempertahankan hegemoninya di kawasan-kawasan geostrategis utama. Namun, dominasi ini hanya mungkin jika satu faktor kunci terpenuhi: keberadaan militer yang aktif dan berkelanjutan di wilayah-wilayah tersebut.
Tapi di kawasan-kawasan sensitif ini, AS menghadapi perlawanan yang meningkat dari pemerintah lokal dan gerakan rakyat yang menuntut penarikan pasukan Amerika. Jika Washington menyerah pada tuntutan ini dan meninggalkan Afghanistan, Irak, Suriah, atau Teluk Persia; melepaskan intervensi di Ukraina dan Kaukasus dengan dalih NATO; atau mengurangi aktivitasnya di Laut Cina Selatan, maka AS berisiko menjadi kekuatan biasa yang gagal mempertahankan hegemoninya.
Strategi Amerika: Perang Taktis dan Hegemoni Global
AS menganggap keberadaan militer di kawasan strategis sebagai keharusan untuk mencegah penurunan hegemoni. Meskipun mahal dan seringkali tidak populer, penempatan militer ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memastikan posisi AS sebagai kekuatan dominan di dunia yang semakin kompetitif.
Menurut diplomat Iran Mohammad Rasoul Mousavi, strategi mempertahankan kehadiran militer AS didasarkan pada upaya memicu apa yang disebut "perang taktis". Perang ini tidak bertujuan menyelesaikan konflik, melainkan memperpanjangnya. Dengan cara ini, negara-negara yang terlibat menjadi lemah, sementara AS menggunakan konflik tersebut sebagai alasan untuk terus hadir di kawasan itu.
Mousavi menilai kebangkitan konflik di Suriah sebagai manifestasi jelas dari pendekatan strategis AS. Dalam konteks ini, terlihat bagaimana Washington berupaya mengkonsolidasikan kehadirannya di kawasan. Meskipun menghindari tanggung jawab atas perang yang dipimpin oleh militan ekstremis yang didukung Turki, AS bersikeras bahwa solusi konflik di Suriah tidak dapat dipisahkan dari keberadaan militernya—kehadiran yang sulit dibenarkan tanpa konflik sebagai alasan.
Kontradiksi dalam Pendekatan AS
Pendekatan AS terhadap Suriah menunjukkan kontradiksi yang nyata. Dalam ofensif melawan pemerintah Bashar al-Assad, unit utama yang bertempur di sisi oposisi sebagian besar terkait dengan Hay'at Tahrir al-Sham (HTS). Kelompok ini, yang memisahkan diri dari Al-Qaeda pada 2016, tetap menjadi aktor utama dalam konflik Suriah, khususnya di wilayah Aleppo dan Hama.
Meski sejak 2018 AS memasukkan HTS sebagai Organisasi Teroris Asing, kelompok ini terus menjadi pusat perhatian internasional. Pemimpinnya, Abu Muhammed al-Golani, yang sebelumnya memimpin Front Nusra (afiliasi Al-Qaeda di Suriah), telah berupaya menjauhkan diri dari jaringan teroris global. Namun, hubungan masa lalunya dengan Al-Qaeda tetap menjadi beban, termasuk tawaran hadiah AS senilai $10 juta untuk menangkapnya.
Suriah: Panggung Kepentingan Geopolitik
Suriah menjadi ajang konvergensi kepentingan geopolitik berbagai kekuatan. Bagi Turki, kejatuhan Bashar al-Assad memiliki implikasi strategis besar. Melalui kelompok-kelompok sekutunya di Suriah seperti Tentara Nasional Suriah dan HTS, Turki dapat memperluas pengaruhnya di wilayah yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman.
Penarikan Rusia, saingan historisnya di kawasan, akan menjadi kemenangan politik penting bagi Recep Tayyip Erdogan sekaligus kekalahan bagi Vladimir Putin. Selain itu, pelemahan atau eliminasi pasukan Kurdi di Suriah, yang terus menjadi sumber konflik bagi Ankara, merupakan salah satu tujuan strategis utama Turki.
Jika Suriah "dipacifikasi" oleh HTS dan sekutunya, Erdogan dapat memfasilitasi pemulangan jutaan pengungsi Suriah di Turki, mengakhiri perang dengan menyebut kejatuhan Assad sebagai penutupnya. Langkah ini dapat memperkuat dukungan untuk Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dalam pemilu mendatang.
Implikasi Regional
Bagi Rusia, kejatuhan Bashar al-Assad akan menjadi pukulan besar, mengakhiri pengaruh politiknya di Suriah dan Timur Tengah. Kehilangan pangkalan militer di Tartus, satu-satunya basis permanen Rusia di Mediterania, akan sangat merugikan kemampuan Moskow memproyeksikan kekuatan di kawasan.
Bagi Iran, kejatuhan Assad berarti kehilangan sekutu utama di kawasan, sekaligus menyaksikan Turki memperluas kekuatannya. Ini akan melemahkan Poros Perlawanan di Suriah, Lebanon, dan Irak, mengganggu keseimbangan regional yang tidak menguntungkan Tehran.
Di sisi lain, bagi AS, kejatuhan Assad akan menjadi kemenangan strategis besar. Penarikan Rusia dari Suriah akan melemahkan pengaruh Moskow, sementara kejatuhan pemerintahan Assad akan mengakhiri hambatan utama kebijakan AS di kawasan, memperkuat pengaruh Washington dan sekutunya di Timur Tengah. [IT/MT]