Krisis Suriah: Mengapa Pertempuran di Aleppo Penting ?*
Story Code : 1176553
Eskalasi terkini di Suriah barat laut telah menempatkan Aleppo di pusat konflik baru, menyusul bentrokan yang pecah tak lama setelah gencatan senjata diumumkan di Lebanon.
Gejolak yang tak terduga ini menandai dimulainya fase kekerasan baru yang tidak terlihat dalam empat tahun, saat koalisi kelompok bersenjata, termasuk Tentara Nasional Suriah yang didukung Turki dan faksi jihad seperti Organisasi Pembebasan Levant (sebelumnya Jebhat al-Nusra), melancarkan serangan terencana terhadap kota berpenduduk lebih dari dua juta jiwa.
Pertempuran di Aleppo bukan hanya tentang kota itu sendiri. Ini adalah gambaran kecil dari perebutan kekuasaan regional yang lebih luas yang telah menentukan perang saudara Suriah.
Serangan baru ini mempertanyakan stabilitas kawasan serta kemanjuran upaya diplomatik oleh seluruh dunia. Meskipun ada upaya internasional untuk menengahi perdamaian, Suriah masih terpecah belah dan sekarang, lebih dari sebelumnya, taruhan geopolitik di Aleppo tidak bisa lebih tinggi lagi.
Dalam serangan yang terkoordinasi dengan baik, para pejuang dari beberapa kelompok militan memasuki pinggiran barat kota, maju menuju Lapangan Saadallah al-Jabri, pusat simbolis kota tersebut.
Ini menandai perubahan strategi, karena kelompok-kelompok ini telah merebut wilayah yang signifikan di utara dan barat Aleppo, serta bagian-bagian timur Idlib.
Bagi banyak penduduk setempat, kemajuan pesat para militan merupakan perkembangan yang mengejutkan, sebuah pengingat suram bahwa perdamaian masih jauh dari tercapai.
Respons tentara Suriah tidak begitu mengesankan.
Kementerian pertahanannya mengeluarkan pernyataan yang mengakui serangan "skala besar" dan "tidak terduga" oleh pasukan oposisi tetapi gagal menyajikan strategi serangan balik yang meyakinkan.
Laporan juga telah muncul tentang serangan udara oleh pasukan Rusia dan Suriah yang menargetkan rute pasokan militan di pinggiran Aleppo dan Idlib.
Upaya-upaya ini mungkin tidak akan mengubah keadaan, sehingga menimbulkan keraguan atas kapasitas Damaskus untuk menahan para pemberontak dalam menghadapi gelombang agresi baru ini.
Kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo, merupakan pusat ekonomi sekaligus benteng penting bagi kendali pemerintah atas negara tersebut.
Perebutan kota tersebut oleh kelompok-kelompok ekstremis akan menjadi pukulan telak bagi otoritas Damaskus. Terletak kurang dari 200 mil (310 km) dari ibu kota, kota kuno tersebut memiliki kepentingan simbolis dan strategis.
Kejatuhannya akan mengubah keseimbangan kekuasaan di Suriah dan akan sangat melemahkan pemerintahan Bashar Assad. Yang membuat pertempuran terakhir ini menjadi lebih rumit adalah peran Iran, yang pasukannya memiliki kehadiran yang signifikan di Suriah.
Meskipun sejumlah besar fasilitas militer Iran – termasuk 52 pangkalan militer dan 177 lokasi tambahan di Aleppo – pasukan Iran gagal mengambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok teroris yang terus maju.
Kelambanan ini menimbulkan pertanyaan tentang strategi Tehran di Suriah, karena infrastruktur militernya tampaknya semakin rentan terhadap serangan dari pasukan oposisi yang lebih gesit.
Mengapa Iran, dengan kehadiran militernya yang besar, gagal melawan kelompok-kelompok ini secara efektif?
Tidak adanya dukungan udara dan ketergantungan yang lebih luas pada infrastruktur Suriah dapat menjadi faktor utama dalam kegagalan ini.
Di atas kekurangan ini, pasukan Iran ragu-ragu untuk terlibat secara langsung, mungkin karena konteks geopolitik yang lebih luas dan ancaman serangan Zionis Israel dan koalisi internasional yang membayangi.
Keraguan strategis ini memungkinkan kelompok-kelompok yang dicap sebagai organisasi teroris untuk menyusup ke Aleppo dengan sedikit perlawanan.
Sementara itu, Damaskus terpaksa mengakui situasi yang memburuk, mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan pasokan militer untuk memperkuat posisinya. Namun, upaya ini tampak reaktif daripada proaktif, sebuah tanda bahwa strategi militernya semakin defensif.
Pemberontakan yang mengejutkan menimbulkan keraguan serius pada kelayakan perjanjian gencatan senjata 2020 yang ditengahi oleh Rusia dan Turki.
Hal ini menyoroti kerapuhan kesepakatan dan, seiring meningkatnya pertempuran, stabilitas kawasan itu menjadi tidak menentu. Kegagalan diplomasi internasional untuk menghasilkan resolusi yang langgeng di Suriah juga terlihat jelas.
Pernyataan Utusan Khusus PBB Geir Pedersen tentang "kebuntuan politik" menggemakan frustrasi global yang lebih luas atas kurangnya kemajuan.
Upaya penyelesaian konflik telah dihambat oleh kelesuan dan kepentingan yang saling bersaing, membuat perdamaian permanen tampak semakin jauh.
Secara regional, upaya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk membuka dialog dengan Presiden Suriah Bashar Assad juga terhenti. Erdogan telah menyatakan keinginan untuk normalisasi, yang menurutnya akan membuka jalan bagi perdamaian di Suriah. Namun, tidak ada langkah signifikan yang telah diambil untuk mencapai tujuan ini.
Turki, yang telah menerima lebih dari tiga juta pengungsi dari Suriah, menghadapi tekanan yang meningkat baik di garis depan pengungsian manusia maupun dalam konflik yang sedang berlangsung dengan kelompok Kurdi.
Setiap kemajuan serius menuju perdamaian harus melibatkan dialog antara Ankara dan Damaskus – sebuah elemen yang masih hilang dari strategi saat ini.
Türki memiliki kehadiran militer yang terus berkembang di Suriah, dengan 12 pangkalan dan 114 lokasi militer, termasuk konsentrasi yang signifikan di Aleppo dan Idlib.
Sementara pasukan Iran tetap lebih besar jumlahnya, kemampuan militer Ankara – khususnya dalam pertahanan udara, artileri, dan teknologi komunikasi modern – menjadikannya pemain yang semakin berpengaruh dalam konflik Suriah.
Pergeseran dinamika kekuatan ini telah memungkinkan Turki untuk memperkuat posisinya di Suriah, dengan kemampuan untuk mengendalikan berbagai kelompok bersenjata di bawah naungannya, meskipun secara resmi tidak mengakui hal ini.
Melalui tindakannya, Ankara mengonsolidasikan pengaruhnya, khususnya di Aleppo, di mana ia diposisikan untuk memainkan peran sentral dalam lintasan konflik di masa mendatang.
Perjuangan geopolitik semakin intensif.
Konflik Suriah dan khususnya pertempuran di Aleppo mencerminkan perebutan pengaruh yang lebih luas antara kekuatan regional seperti Turki dan Iran. Keterlibatan militer Ankara di Suriah kemungkinan akan terus meluas, karena pengaruhnya menjadi semakin penting bagi stabilitas masa depan kawasan tersebut.
Kekhawatiran Zionis Israel yang sudah lama ada tentang meningkatnya pengaruh pasukan yang didukung Iran di dekat perbatasannya menjadi lebih mendesak karena konflik internal Suriah terus berlanjut.
Sebagai tanggapan, negara Yahudi tersebut telah memposisikan dirinya sebagai pemain kunci dalam membentuk lanskap keamanan regional, mengambil sikap yang lebih proaktif untuk melawan perluasan pengaruh Iran.
Pergeseran dalam strategi Zionis Israel ini sejalan dengan pendekatan AS yang lebih luas yang kemungkinan besar akan dilakukan di bawah pemerintahan Trump yang akan datang, yang akan memprioritaskan melawan Iran dan memperkuat hubungan dengan sekutu regional seperti Zionis Israel.
Dengan potensi keterlibatan kembali pemerintahan yang dipimpin Republik, kepentingan strategis Israel dan kemitraannya yang erat dengan AS dapat mendorong tindakan terkoordinasi di Suriah, yang memengaruhi aktor lokal dan asing.
Akankah situasi di Suriah pada akhirnya memaksa pergeseran dalam struktur kekuatan regional?
Mungkinkah peran Turki yang semakin besar menandakan berakhirnya pengaruh Iran di sana?
Selain itu, karena Aleppo menjadi medan pertempuran untuk pertikaian geopolitik yang lebih luas, peran apa yang akan dimainkan Zionis Israel dan AS dalam hasil akhirnya?
Pertempuran untuk Aleppo jauh dari sekadar bentrokan militer lainnya – ini adalah titik fokus perebutan kekuasaan yang melibatkan tidak hanya nasib Suriah tetapi juga masa depan geopolitik Timur Tengah. [IT/r]
*Oleh Lisa Issac, Spesialis Hubungan Internasional, Universitas Negeri Adyghe