Kemunafikan Sikap Turki terhadap ‘Israel’ dan Palestina
Story Code : 1187891
Retorikanya, khususnya setelah operasi Hamas pada 7 Oktober 2023 dan operasi militer Zionis “Israel” berikutnya di Gaza, sangat keras. Erdogan telah melabeli Zionis“Israel” sebagai “negara teroris,” menuduhnya melakukan genosida, dan berjanji untuk memutuskan hubungan dan meminta pertanggungjawaban para pemimpinnya atas kejahatan perang.
Namun, tindakan pemerintahnya menggambarkan gambaran yang sangat berbeda. Kontradiksi antara kata-kata berapi-api Erdogan dan kebijakan ekonomi Turki memperlihatkan duplikasi yang meresahkan, menimbulkan pertanyaan tentang apakah motifnya berakar pada solidaritas sejati atau ambisi untuk menghidupkan kembali pengaruh kekaisaran Turki.
Kontradiksi Erdogan: Kata-kata vs. Tindakan
Kecaman vokal Erdogan terhadap Zionis "Israel" selama konflik Gaza baru-baru ini telah membuatnya mendapatkan dukungan di antara segmen dunia Muslim, di mana sentimen publik sangat mendukung perjuangan Palestina.
Namun, di balik layar, Turki mempertahankan hubungan ekonomi yang kuat dengan Zionis "Israel," khususnya di sektor energi.
Laporan mengungkapkan bahwa minyak dari Azerbaijan diangkut melalui pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan [BTC] melalui Turki ke Zionis "Israel," memenuhi sekitar 40% dari kebutuhan minyaknya.
Pengaturan ini terus berlanjut bahkan di tengah kecaman publik Erdogan.
Pada bulan November 2023, menteri energi Turki membantah klaim bahwa kapal tanker minyak yang menuju Zionis "Israel" telah berangkat dari pelabuhan Ceyhan sejak dimulainya embargo perdagangan Ankara.
Namun, penyelidikan menunjukkan sebaliknya. Sebuah kapal tanker minyak mentah yang membawa minyak Azerbaijan berangkat dari Ceyhan pada akhir Oktober, mematikan sinyal pelacakannya, dan muncul kembali beberapa hari kemudian di dekat Sisilia, yang menunjukkan pengiriman rahasia ke Zionis "Israel."
Kemunafikan ini sangat mencolok.
Bahkan ketika Zionis "Israel" melakukan operasi militer di Gaza, menewaskan warga sipil Palestina—yang banyak di antaranya adalah Muslim Sunni—Turki tetap melanjutkan transaksi ekonomi ini.
Teguran publik Erdogan terhadap Zionis "Israel" kehilangan kredibilitas jika dibandingkan dengan keinginan pemerintahnya untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan dengan negara yang sama.
Kontradiksi ini menunjukkan bahwa retorika Erdogan tidak terlalu tentang dukungan sejati bagi Palestina dan lebih tentang memproyeksikan dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim.
Warisan Ottoman dan Aspirasi Erdogan
Untuk memahami tindakan Erdogan, penting untuk memeriksa peran historis Turki di dunia Arab.
Selama Kekaisaran Ottoman, Turki adalah pusat kekuasaan di sebagian besar dunia Muslim, yang memerintah tanah Arab selama berabad-abad.
Kekaisaran Ottoman sering kali menekan nasionalisme Arab dan memperlakukan wilayah tersebut sebagai wilayah jajahan, sehingga meninggalkan warisan kebencian di antara banyak orang Arab.
Meskipun sejarahnya penuh dengan ketegangan, Erdogan berupaya menghidupkan kembali pengaruh Turki di dunia Arab, dengan menggunakan masa lalu Ottoman sebagai simbol persatuan dan kekuatan Muslim.
Bagian penting dari strategi ini melibatkan keselarasan Turki dengan Ikhwanul Muslimin, organisasi Islam Sunni yang memiliki pengaruh besar di dunia Arab.
Melalui kemitraan ini, Erdogan berupaya mengimbangi kekuatan saingan seperti Arab Saudi, yang juga bersaing untuk menjadi pemimpin dunia Muslim. Namun, pendekatan ini menghadapi banyak tantangan.
Banyak pemerintah Arab, termasuk Mesir, Arab Saudi, dan UEA, memandang Ikhwanul Muslimin dengan permusuhan, menganggapnya sebagai ancaman bagi pemerintahan sekuler mereka.
Dukungan Turki terhadap Ikhwanul Muslimin telah membuat hubungan dengan negara-negara ini menjadi tegang, sehingga mempersulit upaya Erdogan untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin pemersatu bagi Muslim Sunni.
Aliansinya dengan kelompok-kelompok kontroversial seperti Ikhwanul Muslimin tampak oportunis, yang lebih ditujukan untuk memperluas pengaruh Turki daripada benar-benar mendukung tujuan Sunni.
Hubungan Zionis "Israel": Pengkhianatan terhadap Palestina?
Dengan mempertahankan hubungan dagang dengan Zionis "Israel," Turki secara tidak langsung mendukung negara yang dituduh menindas warga Palestina, yang sebagian besar adalah Muslim Sunni.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prioritas Erdogan. Apakah dukungannya terhadap warga Palestina tulus, atau apakah itu langkah yang diperhitungkan untuk meningkatkan citranya sambil menutupi hubungan ekonominya dengan Zionis "Israel"?
Tindakan Erdogan merusak kredibilitasnya sebagai pemimpin dunia Sunni.
Bagaimana dia bisa mengklaim membela Muslim Sunni sambil membantu Zionis "Israel," negara yang dituduh membunuh warga Palestina Sunni?
Kontradiksi ini mengungkap sifat transaksional kebijakan luar negeri Erdogan, yang memprioritaskan kepentingan ekonomi dan geopolitik daripada solidaritas sejati dengan Muslim yang tertindas.
Kesimpulan: Warisan Kemunafikan
Pendekatan ganda Erdogan terhadap Zionis "Israel" dan perjuangan Palestina melambangkan kemunafikan yang telah menentukan kepemimpinannya. Sementara retorika anti-Zionis "Israel"-nya memperkuat posisinya di antara segmen-segmen dunia Muslim, tindakan pemerintahnya menceritakan kisah yang kontradiktif.
Dengan mempertahankan hubungan ekonomi dengan Zionis "Israel," Erdogan telah mengkhianati rakyat yang ia klaim akan dibelanya.
Duplikasi ini tidak hanya mencerminkan gaya kepemimpinan Erdogan tetapi juga ambisi Turki yang lebih luas untuk memulihkan pengaruhnya di era Ottoman di dunia Muslim.
Upayanya untuk menempatkan Turki sebagai pemimpin Islam Sunni harus diteliti, terutama ketika tindakannya secara konsisten bertentangan dengan kata-katanya.
Pada akhirnya, retorika Erdogan tentang membela Palestina dan menentang Zionis "Israel" mungkin akan menuai pujian dalam jangka pendek, tetapi sejarah kemungkinan akan mengingatnya sebagai pemimpin yang kata-kata dan tindakannya sangat tidak selaras.
Warisannya adalah kemunafikan, di mana kekuasaan dan kepentingan ekonomi lebih diutamakan daripada prinsip-prinsip keadilan dan solidaritas yang sejati.[IT/r]