Gharibabadi: Laporan Pejabat PBB Tidak Mencerminkan Realitas Situasi HAM di Iran
Story Code : 1186438
Dalam pidatonya di Jenewa pada hari Jumat di sesi ke-48 Kelompok Kerja Tinjauan Berkala Universal (UPR), yang berfokus pada pembelaan laporan nasional keempat Iran, Gharibabadi menekankan bahwa Republik Islam Iran sangat mementingkan mekanisme ini, dan menambahkan bahwa sebagai "forum global", mekanisme ini telah menciptakan peluang yang signifikan untuk perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia melalui pembentukan dialog yang konstruktif dan bermakna.
Ia membahas pencapaian dan tantangan dalam hak asasi manusia dengan menggunakan informasi yang kredibel sambil menghindari "perilaku konfrontatif dan politis".
Laporan nasional dari Republik Islam Iran menguraikan berbagai langkah dan inisiatif yang telah dilaksanakan negara tersebut untuk mempromosikan hak asasi manusia di semua aspek, termasuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak periode pelaporan ketiga, tambahnya.
“Republik Islam Iran, dengan menghormati Pelapor Khusus yang baru ditunjuk untuk situasi hak asasi manusia di Iran, memandang penunjukan Pelapor Khusus khusus untuk negara tertentu sebagai langkah bermotif politik yang merupakan bagian dari kampanye yang sedang berlangsung melawan Iran, yang didorong oleh sejumlah kecil negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia,” kata Gharibabadi.
“Pemeriksaan yang lebih cermat terhadap kinerja dan laporan Pelapor Khusus untuk Iran sejak 2011 mengungkapkan bahwa laporan mereka gagal mencerminkan realitas hak asasi manusia di negara tersebut (Iran). Sebaliknya, laporan-laporan ini sebagian besar didasarkan pada informasi yang tidak akurat, sumber yang tidak dapat diandalkan, dan perspektif yang bias, yang didorong oleh motif politik,” tambahnya.
“Para Pelapor Khusus sengaja mengabaikan kemajuan yang telah dicapai dalam hak asasi manusia di Iran dan secara konsisten berusaha menggambarkan situasi hak asasi manusia yang menyimpang dan menyesatkan. Meskipun pendekatan ini tidak dapat diterima, Republik Islam Iran secara konsisten telah terlibat dengan para Pelapor Khusus melalui pertemuan langsung dan virtual, tanggapan terhadap rancangan laporan, dan korespondensi tertulis,” catatnya.
“Para Pelapor Khusus harus mematuhi kode etik mereka dan menunjukkan rasa hormat terhadap struktur politik dan kerangka hukum negara yang bersangkutan. Hanya dengan melakukan hal itu mereka dapat menumbuhkan kepercayaan dan mengurangi persepsi bahwa mandat mereka bermuatan politis,” lanjutnya.
“Misi ini didirikan sebagai hasil dari lobi dan tawar-menawar politik oleh negara-negara Barat tertentu. Sejak awal, misi ini telah menghasilkan banyak laporan anti-Iran yang tidak berdasar, bias, dan bermotif politik, serta posisi yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat,” tegasnya.
“Republik Islam Iran telah menyiapkan lebih dari 50 laporan yang terdokumentasi dengan baik dan berdasar pada masalah-masalah yang terkait dengan kerusuhan pada tahun 2022, banyak di antaranya secara khusus dirancang untuk menanggapi klaim yang dibuat oleh apa yang disebut Misi Pencari Fakta,” terangnya.
“Sangat disayangkan, misi tersebut telah mengabaikan laporan-laporan ini dan hanya mengandalkan sumber, data, dan laporan yang diberikan oleh kelompok, individu, dan media yang memusuhi Iran. Misi ini, sayangnya, dalam laporannya, tidak menyebutkan kerusakan yang sangat tinggi yang disebabkan oleh perusuh terhadap properti publik dan pribadi, pembunuhan puluhan pasukan penegak hukum, serta penemuan berbagai senjata, dan penangkapan sejumlah teroris selama kerusuhan,” jelasnya.
“Pembentukan dan pembaruan mandat yang disebut Misi Pencari Fakta terjadi meskipun ada tindakan perlindungan dan akuntabilitas yang luas yang dilakukan oleh Republik Islam Iran selama kerusuhan 2022. Terkait hal ini, Presiden Republik Islam Iran membentuk panitia khusus untuk menyelidiki penyebab kerusuhan, menilai kerusakan properti pribadi dan publik, mengevaluasi kerugian warga sipil dan personel penegak hukum, serta mengusulkan langkah-langkah kompensasi dan perbaikan. Panitia ini menyerahkan laporan komprehensifnya, beserta rekomendasi dan solusi yang diperlukan, kepada presiden pada Maret 2023,” imbuhnya.
“Beberapa langkah akuntabilitas yang diterapkan oleh Republik Islam Iran, yang secara efektif meniadakan perlunya misi yang bermotif politik dan palsu tersebut, meliputi: Pengampunan bagi hampir semua terdakwa dan terpidana yang terlibat dalam kerusuhan; Kompensasi bagi individu yang menderita kerugian; Proses hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran atau tindakan ilegal saat bertugas. Upaya ini terus berlanjut, dengan pembayaran kompensasi dan tindak lanjut hukum terus dilakukan untuk mengatasi akibat kerusuhan tersebut,” sebutnya.
“Kami sangat yakin bahwa merekayasa mekanisme semacam itu, seperti yang disebut Misi Pencari Fakta, mencerminkan tujuan politik, bukan kepedulian sejati terhadap hak asasi manusia. Hal ini terbukti bahwa dalam kebungkaman dan ketidakpedulian mekanisme hak asasi manusia internasional terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel, yang telah membantai lebih dari 47.000 orang tak berdosa, yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, sungguh paradoks bahwa mekanisme semacam itu dibuat untuk negara seperti Iran—negara yang bangkit melawan kediktatoran yang didukung oleh para pembela hak asasi manusia yang memproklamirkan diri untuk membangun sistem yang didasarkan pada kedaulatan rakyat dan lembaga-lembaga demokratis, dan yang telah membuat kemajuan signifikan dalam bidang hak asasi manusia—dan sementara itu hak-hak rakyatnya dilanggar secara sistematis melalui sanksi sepihak yang menindas, melanggar hukum, dan dukungan terhadap kegiatan teroris oleh para pendukung hak asasi manusia yang sama. Sudah saatnya misi mekanisme yang bermotif politik seperti itu berakhir,” pungkasnya. [IT/G]