Setelah Serangan Besar Hizbullah; Israel di Ujung Tanduk
Story Code : 1174921
Militer Israel pada Minggu, 24 November 24, mengakui bahwa sebanyak 340 rudal dan drone telah ditembakkan dari Lebanon. Serangan ini memaksa jutaan warga Israel untuk berlindung di dalam tempat perlindungan, sementara sirene bahaya meraung-raung bergema di berbagai wilayah Pendudukan.
Serangan Strategis Hizbullah
Hizbullah mencetak sejarah dengan menyerang pangkalan angkatan laut Ashdod di Israel selatan untuk pertama kalinya. Dalam pernyataannya, kelompok perlawanan tersebut mengungkapkan bahwa serangan itu melibatkan drone serang dalam jumlah besar yang diarahkan secara terkoordinasi ke pangkalan tersebut.
Selain itu, Hizbullah melancarkan serangan terhadap target militer di Tel Aviv dengan rudal canggih dan drone serang. Kelompok itu juga menyerang lebih dari 50 posisi pasukan Israel di sepanjang perbatasan Lebanon, di mana pasukan Zionis berusaha masuk ke wilayah Lebanon.
Serangan Hizbullah ini terjadi hanya sehari setelah lebih dari dua puluh warga sipil tewas akibat serangan udara Israel di Beirut tengah. Aksi brutal tersebut memicu kecaman internasional dan dituding sebagai sabotase terhadap upaya gencatan senjata yang tengah diupayakan.
Kecaman Lebanon terhadap Israel
Perdana Menteri sementara Lebanon, Najib Mikati, menyebut serangan Israel sebagai pesan berdarah yang menolak segala upaya diplomatik untuk mengakhiri perang. Ia menggambarkan tindakan tersebut sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap upaya mediasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
“(Israel) kembali menulis dengan darah rakyat Lebanon sebuah penolakan terang-terangan terhadap solusi yang sedang dibahas,” tegas Mikati, menuding Israel sengaja merusak proses perdamaian.
Proposal Gencatan Senjata Amerika Serikat
Utusan Amerika Serikat, Amos Hochstein, tengah berada di kawasan untuk membahas proposal gencatan senjata dengan para pejabat Lebanon dan Israel. Namun, di tengah kunjungan Hochstein, Israel justru meningkatkan intensitas serangannya terhadap Lebanon.
Menurut laporan, proposal gencatan senjata yang diajukan Amerika mencakup masa transisi selama 60 hari. Dalam periode ini, tentara Israel akan ditarik dari Lebanon selatan, diikuti dengan penempatan tentara Lebanon di sepanjang perbatasan. Proposal ini juga menyerukan Hizbullah untuk menarik kehadiran militernya dari wilayah tersebut. Rencana ini diyakini sejalan dengan Resolusi PBB 1701, yang menjadi dasar perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Lebanon pada 2006.
Namun, meskipun pemerintah Lebanon dan Hizbullah menyambut baik proposal ini dengan beberapa catatan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Israel akan tetap melanjutkan operasi militernya melawan Hizbullah, bahkan jika kesepakatan tercapai.
Peningkatan Ketegangan Sejak Awal Konflik
Sejak serangan lintas perbatasan dimulai pada Oktober 2023, konflik antara Israel dan Hizbullah terus meningkat. Hizbullah melancarkan serangan dalam solidaritas terhadap rakyat Palestina di Gaza, sementara Israel semakin agresif terhadap Lebanon.
Pada akhir September, Israel mulai meningkatkan serangan udaranya ke Lebanon, yang memuncak dengan invasi darat ke Lebanon selatan pada 1 Oktober. Langkah ini menandai eskalasi besar dalam konflik yang sudah tegang.
Kegagalan Strategis Netanyahu
Netanyahu sebelumnya berjanji untuk mengembalikan penduduk Israel utara yang telah dievakuasi akibat serangan lintas perbatasan. Namun, janji ini terbukti sulit direalisasikan, mengingat Hizbullah terus meluncurkan serangan yang semakin intensif.
Peluncuran ratusan rudal dalam sehari menunjukkan bahwa kemampuan militer Hizbullah tetap utuh, meskipun Israel berupaya keras untuk menghancurkan infrastruktur kelompok tersebut. Dalam laporan terbaru, Hizbullah mengklaim telah menewaskan lebih dari 100 tentara Israel dan melukai lebih dari 1.000 lainnya dalam pertempuran di Lebanon selatan. Statistik ini mencerminkan dominasi Hizbullah dalam pertempuran darat, sementara Israel hanya mampu membalas dengan membombardir wilayah sipil Lebanon.
Pelanggaran HAM dan Konsekuensi Diplomatik
Sejak awal konflik, lebih dari 3.700 warga sipil Lebanon telah tewas akibat serangan udara Israel. Angka ini menggarisbawahi bahwa satu-satunya "prestasi" Israel adalah pembantaian warga sipil tak bersalah.
Proposal gencatan senjata AS tampaknya tidak lebih dari upaya untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan strategi militer Israel. Namun, baik media Amerika maupun Israel melaporkan bahwa kedua belah pihak kini semakin mendekati kesepakatan.
Pilihan Israel: Gencatan Senjata atau Perang yang Berkepanjangan?
Kini, Netanyahu berada di persimpangan jalan yang sulit. Jika ia menyetujui gencatan senjata, itu sama saja dengan mengakui kekalahan Israel di tangan Hizbullah. Namun, jika ia memilih untuk melanjutkan perang, pasukan Israel akan menghadapi risiko yang lebih besar di medan pertempuran.
Pilihan ini tidak hanya menjadi ujian bagi Netanyahu, tetapi juga menentukan arah kebijakan Israel di masa depan. Setiap langkah yang diambil akan membawa konsekuensi besar, baik secara militer maupun diplomatik. [IT/MT]