Pakta Keamanan AS-Irak di bawah Mesin Ekseskusi Parlemen
Story Code : 1081312
Surat kabar Al-Akhbar baru-baru ini melaporkan bahwa setelah mencabut Perjanjian Khor Abdullah dengan Kuwait mengenai navigasi maritim, Parlemen Irak pekan lalu mengajukan rancangan undang-undang ke Mahkamah Agung yang meminta peninjauan ulang beberapa perjanjian internasional negara tersebut termasuk pakta keamanan antara Washington dan Baghdad. Perjanjian tahun 2012 dengan Kuwait dicabut karena Mahkamah Agung memutuskan bahwa perjanjian tersebut tidak konstitusional karena disetujui oleh suara mayoritas sederhana dan bukan oleh dua pertiga suara anggota Parlemen.
Pasal 61 Konstitusi Irak mengizinkan pengajuan banding oleh Parlemen terkait perjanjian yang telah diratifikasi dengan mayoritas sederhana, termasuk perjanjian keamanan dengan AS. Pada tahun 2008, Baghdad dan Washington menandatangani Perjanjian Kerangka Strategis mengenai pengaturan kehadiran pasukan Amerika di wilayah Irak, tetapi pada tanggal 5 Januari 2020, setelah pembunuhan komandan anti-teror terkemuka, Jenderal Qassem Soleimani dan Abu Mahdi Al- Muhandis oleh AS, Parlemen Irak memberikan suara mayoritas untuk mengusir pasukan Amerika. Para pemimpin Washington sejauh ini tidak mematuhi undang-undang ini, sehingga meningkatkan ketegangan antara Amerika dan kekuatan perlawanan.
Ketentuan perjanjian AS-Irak
Perjanjian keamanan tersebut menekankan bahwa pasukan tempur Amerika akan mulai menarik diri dari kota-kota dan desa-desa Irak pada bulan Juni 2009 dan semua pasukan Amerika akan mundur pada tanggal 31 Desember 2011. Pasukan Irak akan menggantikan mereka. Pada saat itu, Amerika, yang telah mengeluarkan biaya besar untuk tinggal di Irak, terpaksa meninggalkan negara tersebut. Namun tidak lama kemudian, mereka kembali ke Irak dengan tipu muslihat memerangi terorisme ketika kelompok teroris ISIS merebut provinsi Irak barat pada tahun 2014.
Menurut Al-Akhbar, hubungan AS-Irak saat ini ditandai dengan dua perjanjian: yang pertama adalah Perjanjian Kerangka Strategis untuk Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama yang mencakup normalisasi hubungan kedua belah pihak di bidang ekonomi, diplomatik, dan budaya. Yang kedua adalah pakta keamanan (SOFA) yang mendefinisikan kerangka hubungan keamanan antara kedua negara dan durasi kehadiran, aktivitas, serta penarikan akhir AS dari Irak.
Meskipun menentukan penarikan AS pada tahun 2011, perjanjian keamanan membuka pintu bagi campur tangan Amerika dalam urusan dalam negeri Irak, dan sekarang dan setelah 14 tahun, campur tangan ini semakin meningkat, namun para pemimpin Irak memobilisasi upaya kolektif mereka untuk memutus campur tangan Amerika.
Dalam hal ini, Raed al-Maliki, anggota Komite Hukum Parlemen dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung tentang inkonstitusionalitas perjanjian dengan Kuwait “akan membuka pintu bagi tuntutan untuk meninjau sejumlah perjanjian lainnya.”
Patut dicatat bahwa pada tahun 2015, ketika Parlemen Irak mengesahkan undang-undang yang mengatur pembuatan perjanjian, yang paling penting adalah Perjanjian Kerangka Strategis dengan AS, para anggota Parlemen mencoba untuk membatalkan perjanjian ini. Namun menurut peraturan Parlemen yang baru tentang perjanjian internasional, mosi ini gagal mendapatkan dua pertiga mayoritas sebagaimana disyaratkan dalam pasal 61 konstitusi sehingga Mahkamah Agung menolaknya.
Meski demikian, Mahkamah Agung sebelum adanya peraturan tahun 2015 masih menyisakan pintu belakang bagi pemungutan suara baru. Dalam kaitan ini, al-Maliki mengatakan jika perjanjian keamanan dengan AS ditentang di Mahkamah Agung, maka bisa didiskreditkan dengan alasan tersebut. Namun sejauh ini belum ada tawaran peninjauan yang diajukan.
Parlemen bisa menang lagi
Meski permintaan peninjauan kembali belum diajukan ke Mahkamah Agung, karena banyak kelompok politik yang mencari-cari alasan untuk membatalkan seluruh perjanjian dengan AS dalam tiga tahun terakhir, nampaknya kini kondisi sudah tersedia bagi mereka dan mereka bisa menggunakan kesempatan ini untuk menghadapi kebijakan destabilisasi Washington.
“Parlemen memilih untuk mengakhiri kehadiran pasukan asing, termasuk pasukan tempur Amerika, di Irak, namun pemerintahan mantan Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi menandatangani perjanjian dengan Washington sehingga pasukan koalisi akan tetap berada di Irak untuk segala macam keperluan misi penasehatan dan pelatihan," kata anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan di parlemen Irak Hussein al-Ameri, menambahkan bahwa para anggota Parlemen dengan tegas menolak kehadiran AS di Irak.
"Kami memiliki banyak pilihan untuk mendukung keputusan Mahkamah Agung mengenai perjanjian dengan Washington. Irak tidak membutuhkan pasukan tempur, dan ini sudah lebih dari satu kali dinyatakan oleh pemerintah, dan pakta tersebut harus direvisi,” lanjutnya.
Mengingat bahwa mayoritas suara saat ini dipegang oleh kelompok perlawanan dan sekutunya, jika pakta keamanan tersebut dibawa ke Parlemen, maka Washington mempunyai peluang kecil bahwa anggota Parlemen akan memberikan suara mendukung perjanjian tersebut. Rakyat Irak berargumentasi bahwa tidak diperlukan kehadiran militer asing di wilayah mereka dan sebagian besar masyarakat menginginkan Amerika keluar karena mereka menganggap Amerika sebagai sumber utama krisis dan ketidakamanan di negara mereka dan ketika Amerika keluar, maka stabilitas akan kembali di negara tersebut.
Kekhawatiran akan ketegangan politik antara Irak dan AS
Meskipun ada desakan dari anggota Parlemen Irak untuk mencabut perjanjian apa pun dengan AS, beberapa warga Irak khawatir akan konsekuensinya.
“Jika kami mengajukan banding terhadap perjanjian internasional dengan Pengadilan Federal, hal ini secara alami akan memengaruhi hubungan Irak dengan negara-negara tersebut dan kredibilitas kami di komunitas internasional. Membatalkan kesepakatan dan menentangnya akan menimbulkan banyak masalah dan mempunyai konsekuensi besar bagi Irak. Oleh karena itu, kita harus menjaga keseimbangan dan kebijaksanaan dalam segala hal, termasuk perjanjian internasional,” kata Yakar Mahmoud, anggota Komite Hukum.
Nabil al-Marsoumi, seorang peneliti politik, memperingatkan bahwa jika perjanjiannya dengan AS ditentang, dinar Irak diperkirakan akan kehilangan nilainya terhadap dolar AS.
Kadhim al-Badiri, analis lainnya, memperingatkan tentang konsekuensi keamanan dan politik dari ketegangan dengan AS. Katanya, sulit untuk merujuk ke Mahkamah Agung.
“Sifat hubungan dan posisi antara Baghdad dan Washington sangat berbeda, karena ada hubungan positif [Amerika] dengan Perdana Menteri Irak Mohammad Shia al-Sudani, dan inilah yang kami perhatikan dari pertemuan al-Sudani dengan duta besar Amerika di Bagdad, Alina Romanowski. Di sisi lain, al-Sudani juga berencana melakukan perjalanan ke Amerika dalam beberapa bulan ke depan untuk menandatangani perjanjian baru,” kata al-Badiri, menyimpulkan bahwa Parlemen tidak akan meminta Mahkamah Agung mengajukan banding terhadap perjanjian tersebut.
Meskipun ada peringatan dari beberapa ahli, Kerangka Koordinasi Syiah (SCF) yang mayoritas anggotanya tidak akan mentolerir kehadiran Amerika dan yang menjadi prioritas utamanya adalah pengusiran pasukan pendudukan. Bahkan salah satu syarat untuk mendapatkan lampu hijau bagi jabatan perdana menteri al-Sudani adalah segera selesainya penarikan pasukan AS, dan PM sendiri beberapa kali menegaskan bahwa Irak tidak memerlukan pasukan tempur asing.
Oleh karena itu, jika anggota Parlemen berhasil mengaktifkan kembali kasus tersebut dengan mengajukannya ke Mahkamah Agung, maka pemerintah Irak wajib menindaklanjutinya. Meski begitu, kekhawatiran para ahli bukannya tidak berdasar. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika Irak meningkatkan tekanan terhadap Amerika agar menarik diri, Amerika akan merespons dengan memperkuat kelompok teroris dan melancarkan protes jalanan serta kekerasan dalam rangka melaksanakan rencana jahat mereka, dan bukan tidak mungkin skenario yang lebih buruk telah disiapkan oleh pejabat Gedung Putih. Namun, terlepas dari semua spekulasi ini, tuntutan rakyat Irak agar Amerika menarik diri tanpa syarat adalah prioritas utama.[IT/Aalwaght-AR]