HTS Membubarkan Cabang Militernya: Realitas atau Taktik Politis?
HTS, kelompok militan Takfiri yang mendominasi wilayah Idlib, baru-baru ini mengumumkan rencana pembubaran cabang militernya. Komandan militer HTS, Merhaf Abu Qasrah (Abu Hasan al-Hamwi), menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari komitmen untuk mendukung pembentukan institusi militer nasional oleh pemerintahan transisi Suriah. Abu Hasan bahkan menegaskan HTS akan menjadi pihak pertama yang mengambil langkah tersebut demi "kepentingan umum negara."
Namun, pengumuman ini memunculkan skeptisisme yang mendalam. Dalam konteks konflik Suriah, langkah semacam ini sering kali digunakan sebagai strategi untuk meredam tekanan internasional tanpa benar-benar melepaskan kontrol di lapangan. HTS, yang sebelumnya bernama Front al-Nusra dan berafiliasi dengan Al-Qaeda, beberapa tahun terakhir berusaha membangun citra baru sebagai aktor politik yang lebih moderat.
Salah satu kemungkinan adalah bahwa HTS tidak sepenuhnya membubarkan cabang militernya, melainkan memindahkannya ke struktur baru yang lebih sulit dilacak. Ini memungkinkan mereka mempertahankan pengaruh di lapangan sambil menghindari sanksi atau tekanan dari komunitas internasional. Langkah ini juga dapat digunakan untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi politik yang sedang berlangsung.
Eksodus Kaum Syiah: Ketakutan akan Serangan dan Dampak Demografis
Di sisi lain, laporan tentang migrasi puluhan ribu keluarga Syiah dari Suriah menuju Lebanon menjadi indikasi lain dari ketegangan yang terus berlangsung. Ketakutan terhadap serangan teroris Takfiri, terutama setelah jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad, menjadi alasan utama di balik perpindahan ini.
Ahli keamanan sosial dan nasional Suriah melaporkan bahwa komunitas Syiah di Suriah, yang tersebar di wilayah seperti Nubl, al-Zahraa, Foua, Kefraya, dan Sayyidah Zainab, menjadi target ancaman langsung dari kelompok ekstremis Takfiri. Dengan populasi sekitar 300 ribu jiwa, mereka telah menghadapi banyak diskriminasi, kekerasan, dan pengusiran selama bertahun-tahun konflik.
Eksodus ini juga berdampak pada struktur demografi Suriah. Migrasi besar-besaran kelompok minoritas, seperti Syiah, akan menciptakan ketidakseimbangan sosial dan politik yang dapat memicu ketegangan baru di masa depan. Selain itu, perubahan demografis ini berpotensi digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperkuat narasi sektarian di kawasan.
Koneksi Keluarga dan Politik di Pemerintahan Transisi
Di tengah situasi yang sudah rumit, muncul kontroversi tentang pengangkatan Maher al-Syar’a, saudara Abu Muhammad al-Jolani, sebagai Menteri Kesehatan dalam pemerintahan transisi baru Suriah. Sebelumnya, Maher al-Syar’a dikenal sebagai penasihat Menteri Kesehatan dalam "Pemerintahan Penyelamatan" di Idlib. Namun, ia menyembunyikan hubungan kekerabatannya dengan Jolani, yang merupakan pemimpin HTS.
Pengangkatan ini memicu kecaman luas. Para pengkritik menilai bahwa langkah ini mencerminkan upaya HTS untuk memperkuat pengaruhnya dalam struktur pemerintahan transisi, yang seharusnya bersifat inklusif dan netral. Lebih jauh lagi, ini memperlihatkan adanya koneksi politik dan keluarga yang masih menjadi faktor utama dalam penunjukan jabatan penting di Suriah.
Langkah ini juga menunjukkan tantangan besar bagi pemerintahan transisi. Jika pemerintahan baru dianggap memberikan ruang bagi individu atau kelompok yang memiliki keterkaitan dengan milisi, kepercayaan publik terhadap transisi politik akan semakin terkikis.
Masa Depan Suriah yang Rentan
Ketiga isu ini, meskipun tampak terpisah, menggambarkan kerumitan konflik Suriah secara menyeluruh. Di satu sisi, HTS berusaha menampilkan diri sebagai aktor yang mendukung stabilitas nasional, sementara di sisi lain, pengaruh ideologi Takfiri mereka tetap mengakar kuat di lapangan.
Migrasi kaum Syiah dan perubahan demografi menjadi pengingat bahwa konflik ini tidak hanya menyangkut politik dan militer, tetapi juga dampak kemanusiaan yang signifikan. Sementara kontroversi tentang pengangkatan Maher al-Syar’a menunjukkan bahwa transisi politik di Suriah masih jauh dari transparansi dan inklusivitas.
Masa depan Suriah sangat bergantung pada kemampuan aktor lokal dan internasional untuk menciptakan solusi politik yang adil dan berkelanjutan. Namun, dengan berbagai kepentingan yang saling bertentangan, jalan menuju perdamaian masih sangat terjal dan penuh tantangan. [IT/MT]