0
Wednesday 5 June 2024 - 09:03

Di balik Penunjukan Duta Besar Baru Saudi untuk Damaskus

Story Code : 1139746
Di balik Penunjukan Duta Besar Baru Saudi untuk Damaskus
Dalam sebuah analisa yang diturunkan pada Sabtu, Alwaght mengupas tuntas hal ini. Arab Saudi menunjuk Faisal bin Saud al-Mejfel untuk bertugas di Suriah. Penunjukan ini dilakukan setelah pertemuan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam pertemuan puncak negara-negara Arab di Bahrain pada Mei, mengakhiri permusuhan dan jeda diplomatik selama bertahun-tahun.

Saat itu, Kementerian Luar Negeri Saudi mengatakan bahwa
dimulainya kembali misi diplomatik di Damaskus "didasarkan
pada ikatan persaudaraan yang, karena keinginan untuk
berpartisipasi dalam aksi bersama Arab dan untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas di kawasan, menyatukan rakyat Kerajaan Arab Saudi dan Republik Arab Suriah."

Tapi siapakah Al-Mejfel? Ia adalah tokoh militer terkemuka di
tentara Saudi dan pendukung kebijakan agresif bin Salman
dalam periode tegang sejak 2015. Karena itu, muncul
pertanyaan tentang niat asli Arab Saudi di Suriah dan pesan
yang ingin dikirim Riyadh di balik penunjukan ini. Apakah peran
yang lebih aktif di Suriah yang diinginkan, atau mengirim
peringatan pada aktor lain di Suriah?


Peningkatan hubungan yang terlambat
Sebenarnya Arab Saudi dapat mengirim duta besar ke Suriah
jauh-jauh hari sebelumnya, sejak kedua belah pihak
mengumumkan pemulihan hubungan pada Mei 2023. Suriah sendiri membuka kembali kedutaannya di Riyadh pada Oktober tahun lalu dan menunjuk Ayman Susan, wakil menteri luar negerinya, sebagai duta besar untuk monarki Arab.

Memahami penundaan ini dapat memberikan petunjuk untuk
mengetahui niat Saudi di balik penunjukan duta besar baru.
Pertama, memullai kembali hubungan dengan Damaskus
merupakan efek dari kegagalan satu dekade kebijakan dukungan penuh kepada para teroris untuk menggulingkan pemerintah Suriah. Kekalahan terorisme membuat para penguasa Arab Teluk Persia menyadari kenyataan tentang Suriah. Salah satunya adalah perubahan geometri kekuatan di mana Poros Perlawanan menjadi unggul dalam perimbangan kekuatan regional.

Struktur regional baru ini bukanlah sesuatu yang dapat diterima
dengan mudah oleh Saudi. Karena itu, sebagai negara Arab
penting yang memiliki catatan sejarah dan posisi geopolitik
utama, Saudi berupaya mencegah semakin terserapnya Suriah
dalam Poros Perlawanan yang dipimpin Iran.

Saudi memanfaatkan pemulihan hubungan dengan Damaskus sebagai daya ungkit untuk memaksakan persyaratannya kepada
pemerintah Suriah. Jadi, meski diumumkan penurunan
ketegangan antara kedua belah pihak, Saudi tidak segera
membuka kembali kedutaannya atau memenuhi kebutuhan
finansial Suriah yang menjadi kekuatan pendorong utama di
balik pemulihan hubungan Damaskus dengan negara-negara
Arab yang dulunya bermusuhan. 

Sebelum pertemuan para kepala negara Arab di Bahrain, komite
menteri Arab yang terkait dengan Suriah mengirim surat kepada
al-Assad untuk menandatangani perjanjian Arab, tapi menurut
Samih al-Mita, mantan menteri informasi Yordania, pemimpin
Suriah menolak untuk menandatangani dokumen ini.

Komitmen pemerintah Suriah untuk mempertahankan aliansi
strategisnya dengan Poros Perlawanan di satu sisi dan
pergeseran perkembangan regional setelah Operasi Badai Al-
Aqsa Hamas terhadap Israel dan isolasi kubu Arab yang
mendukung normalisasi dengan Tel Aviv di sisi lain,  
menunjukkan kepada Saudi bahwa mereka tidak dapat mencapai tujuan di Suriah dengan menggunakan tekanan diplomatik. Bahkan penundaan pembukaan kembali kedutaan menyebabkan pemulihan hubungan Saudi kehilangan bobot dan signifikansinya dalam perkembangan Arab dan regional.


Jenderal militer yang menjadi duta besar
Faisal al-Mejfel adalah tokoh militer terkemuka dengan pangkat
mayor jenderal. Ia tidak memiliki banyak pengalaman
diplomatik; hanya pernah menjadi diplomat kedutaan Saudi di
Kamerun.

Sebagai tanda niat baik, sebenarnya Saudi dapat menunjuk
diplomat berpengalaman seperti Abdullah bin Abdulaziz bin
Aidan, bukan tokoh militer. Bin Aifan merupakan duta besar
Saudi terakhir untuk Suriah dan menurut sumber-sumber lokal,
ia adalah duta besar yang disambut baik. Penunjukan Al-Mejdel
menegaskan perhatian khusus Riyadh terhadap pengalaman
militer dan keamanan sang duta besar baru untuk menjalankan
misi di Suriah.

Lepas pengumuman dimulainya kembali hubungan diplomatik,
Riyadh mengirim delegasi politik yang dipimpin Abdullah al-
Haris dan sejumlah diplomat bernama Qazi Rafee al-Anazi, Jaber al-Abdali, dan Mubarak al-Maliki ke Damaskus untuk mengambil langkah terakhir guna membuka kantor konsuler di sebuah hotel di ibu kota Damaskus.

Teknisi Saudi diminta untuk memeriksa dengan cermat
gedung-gedung yang dirancang untuk misi diplomatik, dan
setelah menyelesaikan pemeriksaan, mereka menolak untuk
kembali ke bekas gedung kedutaan di lingkungan Al-Mezeh dan
menuntut penggantiannya.

Memilih duta besar dengan latar belakang militer dan menolak
untuk kembali ke gedung lama dan menuntut penggantiannya
adalah pertanda jelas dari ketidakpercayaan yang terus berlanjut dan mendistorsi sinyal minat dalam hubungan damai yang dikirim Saudi.

Hal ini mengandung pesan dan implikasi mendalam, terutama
belum hilangnya ketidakpercayaan antara Riyadh dan Damaskus
dimana reservasi keamanan lebih diutamakan daripada protokol
diplomatik tradisional. Perlu diingat bahwa sebagian wilayah
Suriah utara dan barat laut masih dikuasai oleh teroris serta
pasukan militer Amerika dan Eropa, dan kasus ISIS belum
sepenuhnya ditutup, dan banyak yang percaya bahwa sekutu
Saudi, AS, memiliki rencana untuk menghidupkan kembali
kelompok teroris ini.[IT/AR]
Comment