Media Barat Membeo Kebohongan 'Israel': Perang Juli 2006 Sebuah Contoh
Story Code : 944015
Dr. Ibrahim al-Moussawi, anggota Blok Hizbullah di Parlemen Libanon dan profesor Studi Media dan Studi Sosial di Universitas Libanon, dalam artikel yang diturunkan situs Alahed News pada hari Sabtu menjelaskan bahwa semua khotbah dan retorika tentang kejujuran, keadilan, akurasi, dan transparansi menjadi usang, terutama jika menyangkut wilayah Libanon dan khususnya wilayah yang dulu disebut konflik Arab Israel. Untuk lebih spesifik, pendudukan 'Israel' yang didukung Barat ke Palestina memiliki andil terbesar di bidang propaganda. Sebuah propaganda yang bertujuan memoles Citra ‘Israel’ dan mendistorsi citra Palestina.
Masalah ini tidak hanya terbatas pada pendudukan Palestina dan perlawanan di sana, tapi telah begitu meluas hingga mencakup semua orang yang melawan pendudukan ‘Israel’ AS di mana pun di kawasan itu. Libanon tidak terkecuali.
Contoh tentang bias media Barat terhadap 'Israel' sangat banyak. Jika kita mengingat pendudukan 'Israel' di Libanon, kita dapat menemukan begitu banyak.
Pertama dan yang paling penting, lanjut Sr. Ibrahim, terminologi.
Media Barat menampilkan 'Israel' sebagai "negara demokratis damai yang selalu membela diri melawan teroris fanatik dan rezim serta negara diktator." Definisi-definisi ini tidak hanya menyesatkan dan salah tapi juga sangat berbahaya karena mereka membenarkan kejahatan terus-menerus ‘Israel’ terhadap musuh-musuhnya, yang dalam sebagian besar kasus adalah warga sipil dan anak-anak tak berdosa.
Kebohongan besar yang 'Israel' dan sekutu Baratnya coba jual adalah bahwa Palestina kosong, tidak ada orang dan 'Israel' membuat keajaiban ketika mereka datang dan mengubah gurun menjadi surga di bumi. Ini adalah terjemahan dari slogan 'Israel': tanah tanpa orang menjadi orang tanpa tanah.
Dr. Ibrahim melanjutkan bahwa pada perang Juli 2006, dirinya bertemu dengan sejumlah wartawan Barat dari berbagai negara Eropa dan Amerika. Ia melakukan begitu banyak wawancara dan menjawab ratusan pertanyaan, yang menjadi sebuah kejutan nyata dan lengkap baginya bagaimana sebagian besar personel media sangat salah informasi tentang dasar-dasar atau alfabet perang tersebut.
Narasi 'Israel' yang umum adalah: “'Israel' adalah entitas yang beradab dan toleran, ia adalah korban, dan berusaha untuk hidup dalam harmoni, koeksistensi dan damai dengan sekitarnya, sementara 'musuhnya' mengejar segala upaya untuk menghancurkannya.”
Narasi lainnya adalah bahwa agresi, serangan, pendudukan 'Israel' sangat penting dan perlu dan itu adalah tindakan "membela diri." 'Israel' menggunakan hal itu sebagai pilihan terakhir dan hanya setelah menjalankan semua cara lain.
Media arus utama di Barat dan di banyak tempat yang disebut outlet Arab (terutama di kawasan Teluk) memiliki narasi 'Israel' sebagai jalur berita resmi mereka. Ini menggambarkan betapa parah distorsi yang terjadi, papar Dr.Ibrahim.
Jika para jurnalis dan awak media yang seharusnya menginformasikan dengan akurat peristiwa-peristiwa nyata yang sedang berlangsung dan fakta-faktanya yang begitu bodoh, tapi malah memanipulasi, dan bersikap bias, maka apa yang bisa diharapkan dari rata-rata orang di jalanan? Ini, menurut Dr. Ibrahim, adalah distorsi sistematis fakta dengan konsekuensi bencana di banyak tingkatan.
Jika jalur media resmi Barat bias terhadap ‘Israel’ dan berbohong kepada publik untuk mendukung ‘Israel’, maka tanggung jawab para aktivis dan pembela hak asasi manusia yang memiliki informasi benar menjadi sangat besar. Dengan hadirnya media sosial dan aplikasi serta platform publik, media alternatif harus diaktifkan.
Tindakan mendesak perlu diorganisir dan dikoordinasikan oleh semua individu dan organisasi yang sepenuhnya menyadari situasi untuk menginformasikan kepada publik dunia tentang fakta sebenarnya, tegas Dr. Ibrahim.
Tugas dan misi yang dilakukan oleh media Libanon sebagai poros perlawanan sangat menonjol dan signifikan tapi tidak cukup untuk mencapai keseimbangan yang diperlukan dalam menghadapi media pro-‘Israel’.
Menurut dr. Ibrahim, suara lebih banyak dibutuhkan di Libanon. Dan suara-suara itu ada di luar Libanon. Pejuang media hanya perlu membuat mereka bergabung dalam sebuah lingkaran untuk membangun sistem dan narasi perlawanan. Hal ini sangat mendesak, penting dan vital sekarang, tandas lulusan Phd Universitas Birmingham itu.[IT/AR]