Gerakan Yaum al-Quds: Pengakuan atas Kewajiban Agama
Story Code : 726955
Sepanjang sejarah, al-Quds pernah dihancurkan setidaknya dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan direbut serta direbut-kembali selama 44 kali. Bagian tertua kota ini adalah tempat permukiman pada milenium ke-4 SM, dan pada tahun 1538 dibangun tembok di sekitar al-Quds oleh pemerintahan Suleiman I, salah satu kesultanan Turki Utsmaniyah. Saat ini tembok itu mengelilingi Kota Lama, yang secara tradisi terbagi menjadi empat bagian sejak awal abad ke-19 yang dikenal sebagai kawasan Armenia, Kristen, Yahudi, dan Muslim. Kota ini menjadi situs warisan dunia pada tahun 1981, dan statusnya dalam daftar situs warisan dunia dalam kondisi bahaya. Untuk saat ini, al-Quds modern telah berkembang jauh melampaui batas-batas dalam pemerintahan kesultanan Suleiman I.
Dalam pandangan Islam, kota al-Quds dianggap sebagai jantung gerakan Islam. Disana berdiri sebuah masjid al-Aqsa yang dalam versi Islam sebagai kiblat pertama umat Islam dan salah satu tempat suci umat Islam yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di kawasan Bait al-Maqdis, kota al-Quds Timur. Di depan bangunan masjid yang masih di dalam kompleks Bait al-Maqdis, terdapat bangunan kubah warna hijau yang dikenal sebagai Qubat al-Sakhra atau Dome of Rock. Bangunan kubah ini dibangun untuk melindungi batu hitam Sakhra al-Muqaddasah yang menjadi pijakan Rasulullah saat menuju Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra dan Miraj.
Berdasarkan nilai sejarah, Masjid al-Aqsa menjadi tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid al-Aqsa juga pernah menjadi kiblat pertama umat Islam, sebelum datang perintah dari Allah Swt melalui wahyu-Nya kepada Rasulullah Saw untuk mengubah kiblat ke Baitullah (Kabah) di Masjid al-Haram.
Berdasarkan perkembangan sejarah, umat Islam mengelola Masjid al-Aqsa dan Palestina pada tahun kelima belas Hijriah, dan tetap -,kecuali untuk periode singkat ketika Tentara Salib mendudukinya antara tahun 1099 dan 1187 SM,- di bawah kendali umat Islam sampai datang kolonialis Inggris di jantung Islam kota itu pada tahun 1918.
Dengan intrik politik, dan penebaran perselisihan dengan kepala suku Arab, Inggris merancang kekalahan kesultanan Ustmaniyah, yang menyebabkan perpecahan dan pengkotakan umat menjadi beberapa negara dan bangsa kecil dan lemah. Ketika kolonialis Inggris akhirnya pergi, Palestina kemudian diserahkan kepada kolonialis Zionis yang didatangkan dari Eropa.
Selama pemerintahan Islam, di kota al-Quds, baik warga Yahudi dan Kristen menikmati kebebasan beragama dengan sempurna, termasuk tempat-tempat ibadah mereka dihormati dan dilindungi. Ketika Tentara Salib datang, sejak itu mereka tidak mengizinkan warga Muslim atau Yahudi untuk mendapatkan kebebasan semacam itu. Warga Yahudi, tidak diizinkan untuk memasuki al-Quds. Parahnya lagi, sejak pendudukan zionis di Palestina dan al-Quds, penganiayaan agama dan penodaan terhadap tempat-tempat ibadah menjadi norma, adab dan budaya hingga sekarang ini. Baik umat Islam maupun Kristen menderita kebrutalan dan penganiayaan para penganut Zionisme ini.
Sekarang, penting bagi kita, untuk menengok kembali bagaimana umat Islam hidup dalam kondisi yang menyedihkan ini. Mungkin pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengungkap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Zionis.
Pendudukan Zionis atas Palestina didahului bukan hanya melalui strategi pecah belah dan pengkotakan terhadap umat, tetapi juga dengan memberikan suntikan toxin nasionalisme Arab, sebuah konsep yang benar-benar asing, baik dalam konsep al-Quran mengenai "ummah" dan agama ke dalam tubuh politik Islam.
Jelas, nasionalisme itu adalah ideolgi menyimpang-, nasionalisme Arab tepatnya,- yang tujuannya memecah belah umat Islam ketika dihadapkan dengan nasionalisme Zionis dalam konflik atas kendali Palestina. Konflik ini tidak bisa dihindari, nasionalisme Arab sangat asing bagi umat Islam. Umat Islam hanya dapat dimobilisasi berdasarkan Islam, bukan atas dasar ideologi asing yang diimpor dari Barat. Nasionalisme Zionis, di sisi lain, hanyalah kedok yang nyaman untuk mempertahankan kontrol imperial Barat atas bagian penting dari jantung kota Islam itu. Itu sebabnya mengapa Zionisme terus menikmati dukungan penuh dari kekuatan kolonial.
Arogansi Barat selalu mengejar strategi jangka panjang, sebagai modusnya, mereka pertama kali mengalahkan Kesultanan Ustmaniyah, dan kemudian menanamkan agen-agen di dalam tubuh umat Islam yang terfragmentasi di Timur Tengah yang berakhir dengan para penguasa seperti Abdul Aziz bin Saud di jazirah Arab (Saudi Arabia), Abdullah bin Husain di Yordania dan, Faisal bin Husain I di Suriah dan kemudian di Irak.
Para pengkhianat ini dibesarkan oleh kekuatan kolonialis, karena itu raja-raja beri-gal ini tetap setia kepada penjajah, disokong penuh untuk membantu menghancurkan umat hingga hari ini. Saat para diktator Arab ini ini diciptakan, tujuan utamanya adalah -,sebagaimana yang berjalan sampai hari ini,- untuk melindungi "negara" palsu Zionis Israel yang didirikan di Palestina. David Ben Gurion, Perdana Menteri pertama Israel pertama, secara terbuka mengakui bahwa rezim Arab adalah garis pertahanan pertama Israel.
Rezim-rezim ini terus menerus menekan gerakan-gerakan Islam dan menerapkan langkah-langkah strategis bahwa satu-satunya kendaraan yang mampu memobilisasi dan mendorong umat melawan penjajah asing adalah nasionalisme Arab dengan dalih menjaga Islam di kawasan. Sikap subversif Barat ini merupakan kebijakan yang sangat mendasar bagi penguasa rezim-rezim Arab.
Dalam situasi suram ini, muncul Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Sejak itu, Imam Khomeini dianggap sebagai pemimpin dan Bapak Revolusi Islam pertama yang muncul di tengah umat Islam pada periode kolonial. Imam Khomeini mengambil sejumlah langkah-langkah strategis dan penting yang jangkauannya sangat luas untuk masa depan umat. Implikasi dari strategi itu, menyebabkan Zionis Israel yang pernah mendirikan kedutaan di Tehran selama rezim Shah, dan memiliki hubungan erat dengan institusi represif Shah, terusir dari Iran. Setelah itu, negara-negara Islam berbondong-bondong ikut memutuskan semua hubungan diplomatik dengan "negara" Zionis, dan menyerahkan semua properti yang sebelumnya ditempati oleh kaum zionis kepada Palestina.
Imam Khomeini kemudian menyatakan, hanya dengan cara mobilisasi massa, umat mampu membebaskan kiblat pertama Islam (al-Quds) dari cengkeraman Zionisme. Pada posisi ini, Imam Khomeini kemudian mentasbihkan bahwa hari Jumat terakhir bulan Ramadan ditandai sebagai Yaum al-Quds atau Hari al-Quds. Dari sisi ini, umat Islam di seluruh dunia kemudian tergugah mata hatinya, dan menegaskan kembali tekad dan komitmen mereka untuk mengakhiri pendudukan al-Quds dan Palestina dari cengkeraman penjajahan Zionis dukungan rezim arab dan kolonialisme Barat.
Dalam menerapkan strategi itu, Imam Khomeini tidak pernah meminta kepada orang Palestina untuk bangkit atas dasar nasionalisme Arab atau nasionalisme Palestina, Imam juga tidak menyerukan kepada seluruh rezim di dunia Islam untuk mengumpulkan sumber dayanya untuk membebaskan al-Quds. Imam Khomeini punya logika sendiri, dan menemukan rumusan perjuangan umat, harus berangkat dari akar Islam itu sendiri. Menurut Imam, bulan Ramadhan yang juga dianggap sebagai bulan Nuzulul Quran ditasbihkan sebagai bulan penentangan umat terhadap penjajah Zionis sekaligus bulan Pembebasan al-Quds Internasional.
Secara filosofis, bulan Ramadhan merupakan bulan perjuangan, sebab di bulan ini kaum muslimin pernah berjuang dalam pertempuran pertama mereka, yakni dalam perang Badr yang puncaknya adalah kemenangan gemilang umat Islam. Selain itu, di bulan Ramadhan, kota suci Makkah berhasil dibebaskan dari cengkeraman musrikin Quraish. Karena itu Imam Khomeini menempatkan dan mentasbihkan simbol perjuangan untuk pembebasan Palestina dan al-Quds di bulan Ramadhan ini.
Sejak Yaum al-Quds pertama kali diproklamasikan, umat Islam di seluruh dunia terus memperhatikan geliat gerakan Yaum al-Quds. Semua mata dunia menaruh perhatian penuh terhadap penistaan vandalisme zionis dan penodaan kiblat pertama Islam, penjajahan dan penindasan terhadap rakyat Palestina.
Gerakan Yaum al-Quds, adalah puncak kesadaran umat Islam, bahwa umat tidak saja sekedar memahami urgensitas eksistensi penciptaan dirinya, tapi juga memahami kewajiban politik dan pengakuan terhadap kewajiban agamanya.
Melindungi tempat-tempat suci adalah kewajiban bagi semua orang dan selama al-Quds yang suci, dalam cengkeraman Zionisme, maka tugas ini menjadi kewajiban. Tugas ini tidak saja kewajiban umat Islam selain sebagai kewajiban agama juga kewajiban kemanusiaan secara universal. Karena itu, Yaum al-Quds adalah simbol gerakan dan kiblat perlawanan umat Islam dan dunia untuk pembebasan dan kemanusiaan. []