0
Wednesday 25 December 2024 - 14:59

Penipuan dan Politik: Dari Washington hingga Tel Aviv

Story Code : 1180369
Penipuan dan Politik: Dari Washington hingga Tel Aviv
Selama lebih dari 14 bulan yang menyakitkan, Israel telah menganggap tindakan tidak manusiawinya terhadap rakyat Gaza sebagai “pertahanan.” Kita seolah harus percaya bahwa pembantaian puluhan ribu warga sipil dan serangan terhadap tetangga Arabnya entah bagaimana adalah “hak” Israel. Mendapat dukungan pemerintahan Biden, Tel Aviv semakin berani dan biadab dalam upaya menghancurkan perlawanan dan memperluas perbatasannya yang “tidak dideklarasikan".

Sejak mendeklarasikan keberadaan ilegalnya di tanah Palestina pada 1948, Israel telah dan terus terlibat dalam perampasan terbesar terhadap suatu kelompok etnis dalam sejarah modern. Dan setelah menang dalam perang Arab-Israel tahun 1967, Israel muncul sebagai kekuatan ekspansionis, pendudukan, dan aneksasionis yang menguasai tanah dan orang-orang Arab yang luas. Sementara Amerika Serikat, sejak itu, menjadi benteng bagi impian ekspansionis Israel. Dan niat supremasi AS-Israel, yang ditutupi dan dikubur selama beberapa dekade, kini jelas terlihat oleh semua orang.

Bahkan PBB yang baru dibentuk ikut melegalkan pencurian tanah, dengan tekanan AS. Dalam Sidang Majelis Umum (terdiri dari 58 negara) pada tahun 1948, pembentukan negara Yahudi di 62 % wilayah Palestina yang bersejarah disetujui. Saat itu, 68 % penduduk Palestina adalah Muslim dan Kristen Arab Palestina, hanya 30 % beragama Yahudi.

Ketidakmanusiawian, ketidakadilan, dan militerisme terlihat di Gaza, di Tepi Barat yang diduduki, Lebanon, Suriah, dan Yaman saat ini berakar dalam pendirian negara Yahudi dan keinginan kontinu untuk menciptakan Eretz Israel (Israel Raya) yang hegemonik di seluruh Timur Tengah.

Seperti para Zionis awal, setiap pemimpin Israel percaya pada hak orang Yahudi atas seluruh Palestina dan hak untuk mengusir penduduk asli demi mencapai negara Yahudi yang eksklusif. Rencana, tujuan, dan strategi mereka telah dinyatakan secara gamblang dan terdokumentasi dengan baik selama bertahun-tahun.

Para bos Zionis, dari Theodor Herzl sampai David Ben-Gurion, sepakat bahwa peningkatan imigrasi orang Yahudi dan pengusiran orang Palestina perlu demi mengendalikan Palestina dan menciptakan Israel Raya. Seperti pernyataan Ben Gurion, “Dengan pemindahan paksa, kita (akan) memiliki wilayah yang luas (untuk pemukiman)... Saya mendukung pemindahan paksa. Saya tidak melihat ada yang tidak bermoral di dalamnya.” 

Lebih jauh, Tel Aviv dan Washington membuat skema dalam Rencana Dalet 1948 (Rencana D); Rencana Oded Yinon, “Strategi untuk Israel pada 1980-an;” dan 1996 “A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm.”


Rencana Dalet—Cetak Biru untuk Pembersihan Etnis
Jauh sebelum Inggris mengakhiri mandat mereka dan menarik pasukan  dari Palestina, sekelompok pemimpin politik dan militer Zionis,  dipimpin Ben-Gurion, telah mempersiapkan rencana militer untuk mengusir orang-orang Palestina begitu Inggris pergi.

Rencana Dalet (Rencana D) secara resmi diberlakukan pada 10 Maret 1948. Perintah militer diberikan kepada tentara Israel yang baru dan milisi Haganah untuk secara sistematis dan paksa mengusir orang-orang Palestina dari wilayah yang luas di negara itu.

Perintah operasional tersebut menetapkan pusat-pusat populasi mana yang harus menjadi sasaran dan menjabarkan secara rinci cara mengusir penduduk dan menghancurkan komunitas mereka, menggunakan metode termasuk intimidasi, membakar rumah, properti, dan barang-barang, menghancurkan rumah-rumah dan menanam ranjau untuk mencegah penduduk kembali. Pada tanggal 9 April 1948, di Deir Yassin dekat Yerusalem, lebih dari 150 pria, wanita, dan anak-anak Palestina dibantai oleh milisi teroris Zionis (anggota Irgun dan Stern Gang).

Hasilnya, enam bulan kemudian setelah Nakba (bencana) berakhir, lebih dari 750.000 warga Palestina telah mengungsi, 531 desa hancur, dan sebelas lingkungan perkotaan telah dikosongkan, yang segera dihuni kembali oleh warga Yahudi Israel.


Rencana Yinon—'Strategi untuk Israel pada 1980-an'
Pada  Februari 1982, sebuah esai muncul di Kivinum (Petunjuk Arah), jurnal Organisasi Zionis Dunia karya Oded Yinon, seorang jurnalis untuk Jerusalem Post yang memiliki hubungan dekat dengan kementerian luar negeri Israel.

Rencana Yinon untuk Timur Tengah memuat elemen-elemen kunci dari skema “Israel Raya” yang tercermin dalam kebijakan ekspansionis—yang didukung oleh Amerika Serikat—yang telah diterapkan Tel Aviv selama lebih dari delapan dekade.

Meskipun “de-Palestinisasi Palestina” telah menjadi prioritas, setiap negara Arab telah menjadi target ekspansionisme Zionis. Rencana Yinon menekankan dua elemen kunci: untuk bertahan hidup, Israel harus menjadi kekuatan regional kekaisaran; dan untuk mencapai hegemoni itu, Israel harus melemahkan dan memecah belah negara-negara Arab tetangga. Tujuan Israel adalah  menciptakan negara-negara Arab kecil yang berbasis sektarian dengan sedikit pilihan selain menyerah pada dominasi Israel.

Rencana Yinon terbentuk sejak Perang Iran-Irak (1980-88) dan invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Kepentingan Israel pada negara-negara lemah di Timur Tengah telah dibuktikan dalam perang udara dan sibernya serta berbagai pembunuhan tokoh oposisi terkemuka.


‘Strategi Baru untuk Mengamankan Kerajaan’
Sebuah kelompok penelitian neokonservatif AS-Israel di Institute for Advanced Strategies and Palestine Studies di Washington, D.C. menyiapkan sebuah dokumen kebijakan pada tahun 1996 untuk Perdana Menteri Israel yang baru terpilih Benjamin Netanyahu.

Laporan berjudul, “A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm,” memaparkan sebuah rencana aksi tentang bagaimana Washington dan Tel Aviv dapat memadukan kebijakan mereka untuk mengalahkan “musuh” Israel dengan membentuk kembali Timur Tengah.

Untuk mendapatkan dukungan Amerika, Netanyahu disarankan untuk mengemas kebijakan yang diusulkan dalam bahasa yang familiar bagi orang Amerika; oleh karena itu, muncullah isu-isu standar seperti “Israel berhak untuk membela diri” dan mencap pendukung hak-hak Palestina sebagai “teroris.”

Strategi yang dijelaskan dalam rencana “Yinon” dan “Clean Break” merupakan konstruksi untuk perang dan kekacauan AS-Israel yang tak berkesudahan di kawasan tersebut. Perlu dicatat,  Amerika Serikat telah terlibat dalam atau mensponsori perang atau konflik yang menguntungkan strategi Israel seperti di Irak (2003), Libya (2011), Suriah (dari 2011 hingga sekarang), di Lebanon, Yaman, Tepi Barat dan Gaza yang diduduki; dan dengan Iran jika Israel terus melakukan apa yang diinginkannya.

Untuk “mengamankan wilayah tersebut,” Israel didesak  menjalankan kebijakan agresif berupa pendahuluan dan pergantian rezim terhadap pemerintahan di kawasan yang menentang tujuan ekspansionis Israel. Netanyahu disarankan  bekerja sama dengan Yordania dan Turki untuk mengacaukan Irak dan membendung Suriah melalui perang proksi.

Sesuai  “logika clean break,” pemerintahan Bush, dengan dalih bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal, menginvasi Irak pada tahun 2003, menggulingkan Saddam dan membubarkan Partai Ba’ath yang berkuasa.

Perang AS-Israel di Suriah, yang menyebabkan jatuhnya Presiden Assad awal Desember 2024 dimulai dengan strategi “Clean Break” tahun 1996 untuk wilayah tersebut. Perang ini meningkat pada 2011 ketika Presiden Barack Obama secara diam-diam memerintahkan CIA untuk menggulingkan Presiden Assad dalam Operasi Timber Sycamore. Tiga belas tahun perang yang mematikan, serangan udara Israel yang sering, dan sanksi ekonomi melumpuhkan yang dipimpin AS, membuat Suriah menjadi miskin, terpecah-pecah, dan tidak mampu menahan invasi asing.

Israel mendapatkan apa yang diinginkannya di Suriah, negara yang terbalkanisasi dan melemah. Amerika Serikat, Turki, dan pasukan mereka mendominasi di utara, sementara Israel menguasai wilayah di selatan. Tel Aviv kini mengklaim kendali atas zona penyangga demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan, dan telah menyatakan niat untuk memperluas koloni ilegalnya di Dataran Tinggi Golan, dengan menyatakannya sebagai bagian dari negara Israel "selamanya." 

Para ahli strategi Clean Break dengan kejam menasihati Israel, "untuk mengejar warga Palestina ke semua wilayah." Dengan keyakinannya yang jahat bahwa Israel dapat secara fisik menghancurkan keinginan nasional Palestina untuk kembali ke Palestina yang merdeka, Israel telah menghancurkan dan meluluhlantakkan Jalur Gaza yang tak berdaya. Dan selama lebih dari 17 tahun, Netanyahu telah menjadikan misinya untuk membunuh sebanyak mungkin warga Palestina yang ditoleransi oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya.

Kata-kata Ben-Gurion dalam surat kepada putranya pada tahun 1937 mengancam dan menimbulkan firasat buruk, "Orang Arab harus pergi, tetapi orang membutuhkan momen yang tepat untuk mewujudkannya, seperti perang." Para ekstremis Zionis Israel saat ini telah memanfaatkan tindakan perlawanan Palestina pada 7 Oktober 2023 untuk menjadikan “momen tepat” yang diharapkan Ben-Gurion menjadi kenyataan.[IT/AR]
Comment