0
Wednesday 27 November 2024 - 21:08

Kebijakan ‘Tekanan Maksimum’ AS terhadap Iran: Jalan Menuju Kegagalan Berulang

Story Code : 1175195
Kebijakan ‘Tekanan Maksimum’ AS terhadap Iran: Jalan Menuju Kegagalan Berulang
Sebuah artikel dalam The Economist berjudul “Get Ready for Maximum Pressure 2.0 on Iran” menyatakan bahwa Gedung Putih di bawah Trump mungkin mencoba “mengebom dan memberikan sanksi kepada Iran hingga menyetujui kesepakatan.”

Untuk menilai apakah kebijakan tekanan maksimum akan berhasil pada masa jabatan kedua Trump, penting untuk mengevaluasi efektivitasnya selama periode pertama. Keberhasilan kebijakan diukur dari apakah kebijakan tersebut mengubah perilaku targetnya—dalam hal ini, apakah Iran menghentikan program nuklirnya dan mengurangi dukungan untuk kelompok-kelompok perlawanan.


Efektivitas Terbatas dari Sanksi
Artikel tersebut melebih-lebihkan dampak sanksi terhadap perekonomian Iran. Meski sanksi memengaruhi ekonomi Iran secara signifikan, kehidupan sehari-hari masyarakat tidak “lumpuh” sepenuhnya, dan tujuan utama dari tekanan maksimum—yaitu perubahan rezim—gagal tercapai.

Meski Iran menghadapi sanksi ekonomi, dukungan untuk kelompok-kelompok separatis dan tindakan kekerasan yang didorong oleh Barat selama protes tidak berhasil menggoyahkan stabilitas pemerintah Iran, yang tetap memegang kendali kuat. Iran juga berhasil mengatasi sanksi dengan menemukan cara-cara baru untuk mengekspor minyaknya. Awalnya, tekanan maksimum memang berhasil mengurangi ekspor minyak Iran secara drastis. Namun, seperti halnya Rusia, Iran kemudian berhasil menemukan pembeli baru yang tidak bergantung pada Washington, menawarkan diskon, dan menghindari pelacakan AS.

Meski pergantian administrasi ke Joe Biden membawa perubahan gaya, kebijakan sanksi tetap dipertahankan, tanpa hasil signifikan dalam membawa Iran kembali ke meja perundingan. Dengan meningkatnya ketegangan AS-China, persetujuan tersirat Washington terhadap pembelian minyak Iran oleh China tampaknya sulit dibalikkan.


Kegagalan Isolasi Iran
Kampanye tekanan maksimum yang bertujuan mengisolasi Iran justru gagal. Iran semakin memperkuat hubungan dengan negara-negara Global South. Keanggotaannya dalam BRICS dan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) memberikan jalur alternatif untuk mengurangi dampak sanksi AS.

Artikel tersebut menyebutkan bahwa presiden Iran saat ini, Masoud Pezeshkian, “sangat membutuhkan” kesepakatan nuklir baru demi bantuan ekonomi. Namun, kebijakan luar negeri Iran tidak sepenuhnya bergantung pada presiden. Pezeshkian dan pemerintahannya hanyalah salah satu dari banyak pihak dalam pengambilan keputusan, dan tidak ada bukti bahwa ia enggan melanjutkan kebijakan keras terhadap Washington.

Selain itu, mengembalikan pengayaan uranium Iran ke tingkat yang diatur dalam JCPOA (Kesepakatan Nuklir 2015) tampaknya tidak realistis. JCPOA sendiri gagal sepenuhnya membongkar kemampuan nuklir Iran. Sanksi tambahan kemungkinan hanya akan mempercepat program nuklir Iran menuju potensi militerisasi.


Hubungan Iran dengan IAEA dan Perkembangan Nuklir
Resolusi IAEA baru-baru ini meminta Iran memberikan klarifikasi terkait kemungkinan penggunaan bahan nuklir yang tidak dilaporkan. Iran telah bekerja sama dengan IAEA sejak Trump secara sepihak menarik diri dari JCPOA pada 2018. Namun, sebagai respons terhadap resolusi tersebut, Iran mulai mengoperasikan sentrifugal pengayaan uranium yang lebih canggih, menunjukkan niatnya untuk mempertahankan hubungan strategis dengan badan nuklir PBB ini.

Penolakan Iran terhadap mosi kecaman yang disponsori Barat di IAEA menegaskan posisinya untuk terus menjaga kedaulatan dan haknya dalam pengembangan teknologi nuklir.


Ketegangan Militer dengan Israel
Salah satu perkembangan utama sejak masa jabatan pertama Trump adalah eskalasi pertukaran militer langsung antara Iran dan Israel di kawasan Asia Barat. Serangan balasan Iran terhadap aksi Israel, termasuk pembunuhan tokoh-tokoh perlawanan dan serangan terhadap kedutaan besar Iran, menjadi indikasi ketegangan yang meningkat.

Washington sejauh ini tetap mendukung Israel secara defensif tetapi tidak secara langsung terlibat. Sementara itu, Tel Aviv terus mendorong intervensi militer AS terhadap Iran, terutama sejak dimulainya perang di Gaza. Namun, fokus Washington pada perang di Ukraina dan potensi eskalasi dengan China membuat keterlibatan langsung tampak kecil kemungkinannya.


Risiko Eskalasi Lebih Lanjut
Meski kemungkinan AS langsung menyerang Iran kecil, diskusi tentang lampu hijau bagi Israel untuk menyerang situs nuklir Iran terus beredar. Namun, kemampuan Israel untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran masih dipertanyakan. Jika serangan tersebut terjadi, hal itu dapat menghancurkan peluang negosiasi lebih lanjut dan mendorong Iran meningkatkan eskalasi dengan menyerang pangkalan militer AS di kawasan.

Krisis semacam itu tidak hanya akan memengaruhi pihak-pihak yang terlibat perang tetapi juga komunitas global secara keseluruhan. Eskalasi ini berisiko menciptakan ketidakstabilan di Asia Barat, memperburuk ketegangan geopolitik, dan mengguncang ekonomi dunia.

Kebijakan tekanan maksimum, baik di masa lalu maupun potensi di masa depan, telah menunjukkan batasannya. AS terus menghadapi jalan buntu dalam mencoba memaksa Iran menyerah, sementara dinamika geopolitik yang kompleks semakin memperumit situasi.[IT/MT]
Comment