Seruan Ala Churchill dari Netanyahu Berisiko Memicu Perang AS dengan Iran
Story Code : 1169614
Sebuah opini yang diterbitkan oleh penulis Leon Hadar untuk The National Interest pada hari Selasa (29/10) membandingkan Perdana Menteri Zionis Israel Benjamin Netanyahu dan pemimpin Inggris di masa perang, Winston Churchill.
Dalam pidatonya di hadapan Kongres AS, Netanyahu menggunakan nada ala Churchill, mendesak persatuan AS-Zionis Israel yang tak tergoyahkan melawan Iran.
Ia mengklaim bahwa Zionis "Israel" tidak hanya membela kepentingannya sendiri tetapi juga melindungi kepentingan Amerika, dengan menegaskan, "Berikan kami alat lebih cepat dan kami akan menyelesaikan pekerjaan."
Hadar menunjukkan bahwa seruan Netanyahu merupakan anggukan yang disengaja terhadap permohonan Churchill tahun 1940-an kepada AS untuk dukungan melawan Nazi Jerman.
Namun, Hadar menyarankan analogi Netanyahu tidak lengkap. Tidak seperti Churchill, yang berusaha mendorong Amerika Serikat ke dalam pertempuran aktif bersama pasukan Inggris di Eropa, Netanyahu menghadapi lanskap publik dan politik AS yang ragu-ragu untuk terlibat dalam konflik Timur Tengah lainnya setelah bertahun-tahun menantang intervensi di Irak dan Afghanistan.
Meskipun Netanyahu mungkin mencari dukungan Amerika untuk sikap yang lebih agresif terhadap Iran, sejarah terkini telah menunjukkan keengganan Washington untuk terlibat dalam perang lain di kawasan tersebut, kata Hadar.
Dengan penolakan Presiden Biden untuk memberikan lampu hijau atas serangan terhadap fasilitas nuklir dan minyak Iran, pemerintahan tersebut bertujuan untuk menghindari meningkatnya ketegangan lebih lanjut.
Namun, situasinya menjadi lebih genting sejak AS keluar dari JCPOA pada tahun 2018, yang menyebabkan serangkaian tindakan balasan antara Iran dan Zionis "Israel".
Menurut Hadar, konflik yang terus berkembang ini telah memaksa AS untuk meningkatkan dukungannya kepada Zionis "Israel", dengan mengerahkan sistem pertahanan rudal THAAD dan pasukan tambahan di wilayah tersebut.
Hadar memperingatkan bahwa pengerahan pasukan ini berpotensi untuk meletakkan dasar bagi keterlibatan langsung Amerika jika permusuhan meningkat.
Dalam konteks yang lebih luas, Hadar mempertanyakan apakah AS bersedia untuk mempertahankan keterlibatan jangka panjang dalam konflik Timur Tengah lainnya, terutama karena opini publik cenderung lebih mengisolasi diri.
Keterlibatan militer lebih lanjut, menurutnya, dapat mencerminkan dampak dari Krisis Suez 1956, yang menandai berakhirnya pengaruh intervensionis Inggris dan Prancis di Timur Tengah.
Keterlibatan serupa di Iran, menurutnya, dapat mempercepat berakhirnya "zaman" Amerika sendiri di wilayah tersebut karena fokus strategisnya semakin bergeser ke Asia Timur.[IT/r]