Peran Amerika di Suriah Pasca-Rezim: Taruhan Geopolitik dan Manuver Strategis
Story Code : 1181815
Secara geografis terletak di persimpangan wilayah-wilayah vital, kepentingan strategis Suriah mencakup kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan.
Dengan jatuhnya pemerintah Suriah pada tahun 2024, Amerika Serikat telah mengintensifkan upaya untuk memanfaatkan apa yang oleh banyak orang digambarkan sebagai "kesempatan emas" barunya untuk mengamankan tempat permanen dalam pemerintahan negara tersebut.
Pentingnya Strategis Suriah
Kedekatan Suriah dengan Palestina yang diduduki, Irak, Iran, Lebanon, Yordania, dan Turki memberinya peran sentral dalam membentuk dinamika regional.
Melindungi Zionis "Israel" tetap menjadi landasan kebijakan AS, yang memposisikan pemerintahan Suriah sebagai faktor penting dalam memastikan keamanan Tel Aviv dan kemampuannya untuk melakukan agresi besar-besaran di seluruh wilayah tanpa hukuman.
Sebagai pusat transportasi dan jembatan regional untuk berbagai aliansi, Suriah memengaruhi gerakan perlawanan dan strategi pengambilalihan AS. Upaya untuk melemahkan negara Suriah bermula pada tahun 2003, setelah invasi AS ke Irak.
Berdasarkan teori “efek domino”, Washington memandang Irak sebagai pintu gerbang untuk mengubah Suriah dan mengikis perlawanan di Lebanon dan Palestina terhadap proyek Zionis.
Meskipun mengalami kemunduran seperti kegagalan inisiatif-inisiatif ini pada tahun 2006 dan 2007, AS terus berupaya mengubah rezim di Suriah, lagi-lagi selama Musim Semi Arab pada tahun 2011, melibatkan diri dalam perang saudara dalam berbagai cara selama masa jabatan Barack Obama yang saat itu menjadi presiden.
Hal ini berpuncak pada kebangkitan pasukan oposisi, dengan dukungan “Hay’at Tahrir Al-Sham” (HTS) sebagai inisiatif terbaru mereka, yang menyebabkan HTS menguasai Damaskus pada tahun 2024.
Tujuan dan Strategi Regional AS
Runtuhnya rezim tersebut memberi Washington kesempatan untuk membentuk kembali aliansi Asia Barat dan menghalangi para pesaing seperti Rusia dan China untuk memanfaatkan akses Suriah ke Mediterania.
Sasaran utama AS termasuk mencegah Suriah menjadi basis bagi "terorisme fundamentalis" atau gerakan perlawanan yang menargetkan "Israel". Dengan mengacu pada kerangka kerja "Camp David" yang menyelaraskan kembali Mesir, para pembuat kebijakan AS bertujuan untuk menjauhkan Suriah dari perang genosida Israel di Gaza dan jaringan perlawanan. Pakar keamanan Ali Rizk menyoroti, kepada Al-Manar, upaya AS untuk mengesampingkan pengaruh Iran di Suriah sambil melibatkan Turki dalam tujuan keamanan bersama. Namun, ketegangan tetap ada terkait isu-isu seperti otonomi Kurdi.
Turki, sekutu NATO, memprioritaskan netralisasi milisi Kurdi dan pengelolaan pemulangan pengungsi, sementara Zionis "Israel" dilaporkan lebih menyukai negara Suriah yang terfragmentasi.
Selain itu, strategi ekonomi—seperti usulan jaringan pipa gas Qatar ke Eropa dan inisiatif perdagangan "koridor India"—mencerminkan ambisi AS yang lebih luas untuk memperkuat kendali ekonominya.
Dinamika HTS dan AS
Munculnya HTS di Damaskus telah menyoroti hubungan di balik layar dengan Washington. HTS mencari pengakuan internasional, memanfaatkan konsesi keamanan dan politik untuk mendapatkan dukungan AS.
Pemimpin Abu Mohammad Al-Joulani, yang kini dikenal sebagai Ahmad Al-Shara’ telah secara terbuka mendukung narasi Amerika, dengan menargetkan Iran dan Rusia sambil mengecilkan kehadiran militer AS yang ilegal di Suriah, termasuk pangkalan-pangkalan penting seperti Al-Tanf.
Para kritikus berpendapat bahwa kerja sama AS dengan HTS bersifat transaksional, yang mencerminkan pola Amerika yang lebih luas dalam mensubordinasikan sekutu demi kepentingan strategisnya.
Keheningan HTS atas tindakan Zionis "Israel" di Suriah selatan dan penderitaan Palestina menggarisbawahi keselarasan pragmatisnya dengan prioritas AS, bahkan saat ia berupaya meringankan sanksi seperti Undang-Undang Caesar untuk menstabilkan ekonomi Suriah.
Tantangan terhadap Pengaruh AS
Meskipun telah memperoleh keuntungan, masih ada kendala yang menghalangi AS untuk mengonsolidasikan pengaruhnya.
Pemain regional seperti Turki, Arab Saudi, dan UEA bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Suriah, yang mempersulit upaya Washington untuk mendamaikan kepentingan yang bersaing yang dapat memaksanya untuk menarik diri dari beberapa masalah.
Hubungan Kurdi tetap menjadi titik yang kontroversial, dengan potensi konflik yang semakin membebani pengaruh AS.
Dinamika domestik, termasuk konsolidasi kekuasaan HTS, berisiko mengasingkan penduduk Suriah, yang berpotensi merusak stabilitas jangka panjang.
Apa pun itu, masa depan pemerintahan Suriah tidak diragukan lagi akan melibatkan keterlibatan besar AS, baik melalui kemitraan strategis atau integrasi ekonomi. Peran Washington di Suriah pascarezim akan membentuk kembali lanskap geopolitik Asia Barat.[IT/r]