Imam Khamenei: Ghadir Memansukhkan Falasi Pemisahan Agama dari Politik
Story Code : 667655
Wali Faqih Zaman Ayatullah Uzma Imam Sayid Ali Khamenei, sebagaimana dikutip di dalam buku “Ghadir dar Bayone Maqome Muadzame Rahbari” halaman 24, mengatakan:
“Awal persoalannya kembali kepada tiran dan para pejabat pemerintahan yang lepas kendali di negara kita (zaman kerajaan) dan negara-negara lain. Mereka takut pada segala bentuk campur tangan agama, orang-orang beragama, para mubalig dan ulama agama dalam kancah politik. Itulah kenapa mereka menentangnya.
Para kolonialis juga ketika melihat hal ini seirama dengan cita-cita dan politik mereka, maka mereka menindaklanjutinya.
Hipotesis sekularisme atau pemisahan agama dari politik, setelah didoktrinkan ke perangai tiap-tiap orang yang beragama, bahkan ke mayoritas ulama, baru menemukan bentuk yang mendasar. Mulailah mereka membuatkan argumentasi untuk itu. Perlahan-lahan berubah menjadi prinsip dan ide.
Semua ini berhubungan dengan masa lalu.
Salah satu jasa paling besar dari gerakan agung keagamaan bangsa Iran adalah menghapuskan dongeng galat pemisahan agama dari politik. Rakyat berlaga dengan motivasi agama dan mengibarkan bendera kebebasan. Para tokoh ulama dan mubalig juga menjalankan perintah agama seraya bergerak memimpin kafilah mereka. Sehingga pada akhirnya, gerakan ini berujung pada kedaulatan agama Allah Swt di dalam negeri. Ketika itulah menjadi jelas bagi Muslimin bahwa urusan politik – dan masalah yang lebih penting dari semua urusan politik, yaitu pemerintahan dan wilayah - menyatu dengan agama dan tidak terpisahkan darinya. Manakala nas-nas dan teks-teks agama menampakkan maknannya, semua jadi mengerti ternyata selama bertahun-tahun mereka tidak memperhatikan hal yang gamblang ini.
Tentu saja sebuah penyimpangan ketika ditopang oleh pihak-pihak yang memusuhi kebahagian sebuah bangsa, tidak akan hilang dengan mudah. Karena itu, mulailah dibuatkan argumentasi-argumentasi baru untuk pemisahan agama dari politik.
Mereka beragumentasi. Kalau agama memasuki kancah politik, dan kalau politik sebuah negara bermuara dari agama, maka itu akan menimbulkan problem baginya, sebagaimana urusan politik dan pemerintahan umumnya. Akan muncul ketidakpuasan, kekecewaan, dan kegagalan. Akibatnya, masyarakat jadi benci agama. Karena itu, agama seutuhnya harus menyingkir dari politik. Supaya tetap sakral. Supaya tetap bersinar. Harus duduk menepi dan mengurusi hal-hal spiritual, mental, dan kejiwaan masyarakat.
Kini, tangan-tangan Istikbar giat menyebarkan teori dan argumentasi ini di dunia, terutama di Dunia Islam. Macam-macam cara mereka gunakan.
Tapi Ghadir memansukhkan falasi-falasi ini.
Dalam peristiwa Ghadir Khum, Nabi Muhammad Saw, sesuai perintah Allah Swt, dan keterangan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang jelas, melaksanakan salah satu kewajiban Ilahi yang paling tinggi. “Wa in lam taf’al fa ma ballaghta risalatah” (QS. Al-Maidah [5]: 67).
Begitu pentingnya peristiwa pelantikan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sebagai wali dan khalifah Ilahi, sampai-sampai apabila engkau tidak melaksanakan kewajiban ini maka sama dengan engkau tidak menjalankan misi-Nya sama sekali! Atau, sama dengan engkau tidak menjalankan misi khusus ini sama sekali. Karena, Allah Swt telah memerintahkan beliau untuk menjalankannya. Bisa juga maksudnya lebih tinggi dari itu. Apabila engkau tidak melaksanakan misi ini, maka asas risalah kenabian terancam bahaya dan pondasinya menjadi guncang karena itu. Kemungkinan makna ini juga ada. Seakan-akan asas risalah itu sendiri belum disampaikan sama sekali. Dengan demikian, persoalannya jadi sangat penting sekali.
Artinya, masalah pembentukan pemerintahan, masalah wilayah dan urusan manajemen negara, adalah termasuk dalam teks asli agama. Nabi Muhammad Saw, dengan keagungan diri beliau, sangat memperhatikan misi ini dan menyampaikannya di hadapan semua orang. Itu pun dengan cara yang sangat istimewa. Mungkin bisa dikatakan tidak ada kewajiban lain yang disampaikan seperti itu! Shalat pun tidak, zakat pun tidak, puasa pun tidak, jihad pun tidak.
Beliau kumpulkan masyarakat dari berbagai lapisan dan kabilah serta daerah di sebuah perempatan antara Mekkah dan Madinah guna menjalankan misi yang sangat penting. Ketika itulah beliau menyampaikan misi agung ini. Sehingga misi yang beliau sampaikan menggema di seluruh Dunia Islam. “Nabi Muhammad Saw menyampaikan pesan baru.” [IT/r/WF]