Kejatuhan Assad: Suriah Menuju Fragmentasi ala Libya, Bukan Dominasi ala Afghanistan
11 Dec 2024 05:44
Islam Times - Kejatuhan Bashar al-Assad menandai awal babak baru dalam sejarah Suriah, yang tampaknya akan mengarah pada fragmentasi politik serupa dengan Libya pasca-Qaddafi. Berbeda dengan Afghanistan, di mana Taliban berhasil mengonsolidasikan kekuasaan sebagai satu entitas tunggal, Suriah merupakan mosaik kompleks dengan berbagai kepentingan etnis, sektarian, dan politik yang saling bertentangan. Hal ini menjadikan dominasi tunggal hampir mustahil, membuka jalan bagi pembentukan kantong-kantong kekuasaan lokal yang didukung aktor-aktor eksternal.
Dinamika Internal: Mosaik Politik yang Rapuh
Keragaman sosial Suriah meliputi komunitas Alawi, Sunni, Kurdi, serta minoritas lainnya. Kejatuhan Assad diprediksi akan mempercepat fragmentasi negara ini menjadi wilayah-wilayah semi-otonom. Kurdi, misalnya, telah menciptakan wilayah otonom di utara dengan dukungan Amerika Serikat. Sementara itu, komunitas Sunni mungkin akan mengadopsi model pemerintahan yang terinspirasi oleh Turki atau bahkan Barat. Situasi ini mencerminkan Libya pasca-Qaddafi, di mana berbagai faksi bersenjata mendirikan wilayah kekuasaan masing-masing, sering kali dengan dukungan internasional.
Kemenangan Israel
Dengan bantuan Amerika Serikat, Israel memiliki dua agenda strategis utama terkait Suriah:
1. Mengakhiri Pengaruh Iran
Israel berupaya menghapus kehadiran Iran di Suriah untuk memutus dukungan finansial dan militer kepada Hizbullah. Dalam konteks Rusia, Israel tidak terlalu peduli apakah Rusia tetap hadir atau mundur, kecuali jika dukungan Moskow terhadap Assad memungkinkan keberlanjutan pasokan militer Iran ke Hizbullah. Selain itu, Israel mendorong pemisahan wilayah tertentu di Suriah demi keuntungan aktor seperti Turki atau kelompok Kurdi, atau bahkan untuk dikuasai langsung, seperti yang terjadi di Dataran Tinggi Golan.
2. Fragmentasi Suriah
Israel juga menginginkan Suriah terpecah menjadi negara-negara kecil berdasarkan agama dan etnis, menciptakan konflik yang berkepanjangan. Untuk mencapai tujuan ini, kemunculan kelompok teroris Takfiri seperti ISIS menjadi instrumen penting. Dengan kekerasan sistematis, kelompok ini menghancurkan harmoni sosial dan memecah belah masyarakat. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) adalah salah satu representasi nyata dari strategi destruktif ini.
Hayat Tahrir al-Sham: Ambisi dan Tantangan
Hayat Tahrir al-Sham, di bawah kepemimpinan Mohammad al-Jolani, adalah salah satu aktor utama yang berusaha memanfaatkan kekosongan kekuasaan di Suriah. Perubahan citra HTS, dari kelompok terkait al-Qaeda menjadi kekuatan Sunni yang dianggap lebih moderat, menunjukkan upaya mereka membangun legitimasi domestik dan internasional. Transformasi ini bahkan terlihat dalam penampilan al-Jolani, yang meniru gaya pemimpin Barat seperti Volodymyr Zelensky. Namun, ambisi HTS terganjal oleh fragmentasi internal, dengan lebih dari 35 kelompok bersenjata aktif yang memiliki agenda berbeda.
Poros Perlawanan: Tekanan yang Mengancam
Kejatuhan Assad juga menjadi pukulan telak bagi Poros Perlawanan, yang meliputi Iran, Hizbullah, serta kelompok bersenjata di Irak dan Yaman. Assad adalah sekutu strategis yang menyediakan jalur logistik vital bagi Hizbullah. Tanpa Suriah yang stabil, Poros Perlawanan menghadapi tekanan geopolitik yang signifikan, meskipun Hizbullah di Lebanon tetap tangguh berkat struktur yang mandiri.
Euforia yang Pupus: Harapan Khilafah
Kelompok pengusung Khilafah, baik di Indonesia maupun global, mungkin menyambut kejatuhan Assad dengan optimisme. Namun, kenyataan politik pasca-Assad tidak akan sejalan dengan visi mereka. Suriah tidak akan menjadi pusat kekuasaan Islam global, melainkan negara terfragmentasi dengan entitas semi-otonom yang jauh dari cita-cita Khilafah.
Dampak pada Palestina dan Gaza
Konflik di Suriah juga membawa dampak besar pada Palestina dan Gaza. Dengan Suriah yang terfragmentasi, dukungan dari dunia Muslim untuk perjuangan Palestina akan semakin melemah. Gaza, yang telah terisolasi akibat blokade, akan semakin kehilangan sekutu strategis di kawasan. Situasi ini menegaskan bahwa krisis Suriah tidak hanya menghancurkan negara tersebut, tetapi juga melemahkan solidaritas Muslim di Timur Tengah.
Suriah di Tengah Gejolak Timur Tengah
Kejatuhan Assad menandai dimulainya era baru yang penuh tantangan, baik bagi Suriah maupun kawasan Timur Tengah. Negara itu berpotensi terperosok dalam siklus peperangan yang panjang, menyerupai Libya, dengan rivalitas geopolitik yang semakin memanas. Sementara Poros Perlawanan menghadapi tekanan besar, kelompok pengusung Khilafah harus menerima kenyataan pahit bahwa Suriah tidak akan menjadi simbol kejayaan mereka. Di tengah semua kekacauan ini, rakyat Suriah tetap menjadi korban utama, menghadapi masa depan penuh ketidakpastian. [IT/MT]
Story Code: 1177649