Kenapa Dubes Saudi Mengunjungi Kota-kota Suci di Irak?
14 Jun 2024 20:03
Islam Times - Kunjungan Dubes Saudi untuk Irak dalam kerangka diplomasi publik ke provinsi-provinsi penting, situs-situs keagamaan dan pertemuan tidak resmi dengan tokoh agama di Irak menarik perhatian.
Dalam sebuah paper yang dimuat Alwaght pada Kamis, disebutkan bahwa kunjungan 13 Mei Abdulaziz Al-Shammari ke kota penting Karbala dan Najaf mengejutkan banyak orang. Para analis menerjemahkan kunjungan tersebut sebagai pesan Arab Saudi tentang babak baru dalam hubungan kedua negara.
Dalam perjalanan itu, Dubes Saudi mengunjungi makam suci Imam Hussein (AS) dan Imam Ali (AS) serta bertemu dengan tokoh-tokoh agama dan sosial serta orang-orang terkenal dari kedua kota tersebut. Di Najaf, ia mengadakan pertemuan terpisah dengan dua pejabat paling terkemuka di Najaf, Bashir al-Najafi dan Eshagh al-Fayad.
Paper melanjutkan bahwa hubungan Irak-Saudi selama beberapa dekade mengalami fluktuasi besar, terutama pandangan pesimistis di kalangan Syiah terhadap kebijakan Saudi. Sebelum rezim Baath jatuh, Arab Saudi merupakan salah satu sekutu dan pendukung mantan diktator Saddam Hussein hingga tahun 1990. Lepas invasi Saddam ke Kuwait, hubungan diplomatik Riyadh-Baghdad pun putus.
Tahun 2003, Saddam lengser. Arab Saudi masih melanjutkan jeda diplomatik dengan Irak. Dalam periode ini, ada pandangan umum di kalangan Syiah Irak bahwa kebijakan Saudi mendukung ideologi takfiri dan kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan kemudian ISIS adalah faktor utama di balik ketidakstabilan dan krisis ketidakamanan di negara tersebut.
Ketegangan terus berlanjut bahkan setelah normalisasi hubungan dan pertukaran duta besar pada 2015. Tindakan duta besar Saudi yang kontroversial di Baghdad, Thamer al-Sabhan, terutama tuduhan terhadap Pasukan Mobilisasi Publik (PMF) tentang upaya pembunuhannya, memicu kemarahan orang-orang Irak.
Pemecatan al-Sabhan dan penggantiannya dengan Al-Shammari serta kunjungan Menteri Luar Negeri saat itu Adel al-Jubair ke Baghdad pada Februari 2017, tampaknya mulai meredakan perbedaan mereka. Mengetahui Irak dengan baik, al-Shammari mencoba berperan sebagai duta besar moderat dan tidak mencampuri urusan dalam negeri Irak.
Ziarah ke makam suci kaum Syiah dan juga pertemuan dengan para pemuka agama, di saat rakyat Irak masih ingat seruan berulang kali para mufti ekstremis Saudi untuk menghancurkan makam suci para Imam Syiah, menjadi langkah penting dan sangat efektif dalam pandangan masyarakat Irak bahwa Riyadh tengah mengubah pendekatannya dalam masalah etnis dan agama di Irak.
Para politisi dan analis Irak meninjau langkah ini; menjadi indikator efektivitas tindakan ini.
Situs web resmi makam Imam Hussein mengutip pernyataan duta besar bahwa ziarah ke makam Imam Hussein membawa "pesan semangat untuk semua."
Sumber-sumber media Saudi juga mengutip seorang sumber yang dekat dengan pemuka agama di Irak mengatakan, "Pertemuan ini menciptakan suasana positif yang luas dan ini merupakan langkah untuk mendekatkan pandangan satu sama lain." Pihak berwenang berharap hubungan antara Irak dan Arab Saudi akan membaik, menurut sumber tersebut.
Manaf Al-Mousawi, kepala Pusat Studi Baghdad, percaya bahwa keterusterangan duta besar kerajaan terhadap kaum Syiah Irak "membuktikan bahwa situasi di Arab Saudi berubah dengan kebijakan baru yang dimulai oleh putra mahkota [Mohammed bin Salman]."
Kepada jaringan berita Alhurra yang didanai pemerintah AS, Al-Mousawi mengatakan bahwa di masa lalu terdapat konflik agama yang terkadang menyebabkan takfir (pengucilan) pihak lain. Pertemuan duta besar Saudi dengan para ulama Syiah mengindikasikan mencairnya hubungan kedua negara. "Saya berbicara tentang masalah sektarianisme para ulama Saudi yang mengikuti pendekatan Wahabbi," jelasnya.
Sementara itu, kepada Al-Araby Al-Jadeed, penasihat pemerintah Irak Dhiya al-Naseri mengatakan bahwa Baghdad memandang kebijakan baru Saudi secara positif, seraya menambahkan bahwa semua perjalanan dilakukan dalam rangka memperlancar dan menciptakan suasana umum antara kedua negara.
Mohammad al-Anouz, anggota parlemen dari Najaf, mengatakan bahwa kunjungan ini penting untuk mendobrak penghalang bertahun-tahun yang ada terkait kecenderungan sektarian dan politik karena "kami memiliki hubungan Islam dan Arab yang penting dan dekat dengan Arab Saudi."
"Kami percaya bahwa langkah-langkah terbaru Arab Saudi di Karbala dan Najaf penting bagi kedua belah pihak dan merupakan kesempatan untuk memperluas hubungan," katanya.
Ia melanjutkan bahwa inisiatif Arab Saudi untuk meluncurkan jalur penerbangan langsung ke Najaf akan memperkuat hubungan dan kemungkinan pertukaran kunjungan antara rakyat kedua negara. Perjalanan al-Shammari ke Karbala dan Najaf sendiri bertepatan dengan pendaratan penerbangan komersial dan ziarah pertama dari Bandara Internasional Raja Fahd di provinsi Dammam yang mayoritas Syiah di Arab Saudi ke Bandara Internasional Najaf.
Maskapai Saudi Flynas akan mengangkut jamaah haji dari bandara Dammam ke bandara Najaf dengan tiga penerbangan seminggu. Sebelumnya, jamaah haji Syiah Saudi harus melewati Kuwait atau Qatar untuk dapat terbang ke Najaf.
Tujuan ekonomi
Paper melanjutkan bahwa kepentingan ekonomi ikut berperan dalam hal ini, yang terkait dengan kebijakan utama bin Salman untuk mengubah Arab Saudi menjadi kekuatan ekonomi teratas di kawasan.
Selain penerbangan langsung ke Najaf, duta besar Saudi menyerukan pembukaan konsulat di kota itu. Seorang pejabat Irak mengatakan kepada Al-Araby Al-Jadeed bahwa selama masa jabatan perdana menteri Mustafa al-Kadhimi, Riyadh telah mengajukan permintaan tersebut, tapi selalu gagal terwujud. Kunjungan al-Shammari ke Najaf tampaknya membuahkan hasil positif.
Duta besar Saudi itu mengatakan bahwa "...Arab Saudi dan Irak mengupayakan integrasi ekonomi, politik, dan agama bersama."
Al-Shammari enyatakan bahwa kesepakatan dengan gubernur Karbala untuk meluncurkan proyek bersama guna menciptakan peluang kerja baru bagi pemuda Irak dan produk untuk pasar Irak sudah dicapai.
Media Saudi juga menganalisa bahwa kunjungan al-Shammari mengejar tujuan ekonomi, selain meningkatkan hubungan publik, agama, budaya, dan pariwisata lebih luas di masa depan.
Bin Salman berambisi tinggi untuk memangkas ketergantungan negaranya pada tahu betul bahwa mereka harus mencari pasar untuk barang ekspor mereka di masa depan. Dan Irak merupakan salah satu pasar ekspor paling menarik di kawasan tersebut. Pada tahun 2020, kedua negara sepakat untuk membuka kembali penyeberangan Arar setelah beberapa dekade dan mempersiapkan jalur darat untuk transit penumpang dan barang.
Laju pertumbuhan perdagangan kedua negara naik 5o % pada tahun 2022. Penyelenggaraan pertemuan Dewan Koordinasi Saudi-Irak yang berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir menegaskan tekad kedua belah pihak untuk meningkatkan hubungan.
Tujuan tersembunyi
Paper tersebut kemudian menyinggung bahwa banyak tujuan kebijakan dan diplomasi tidak diungkapkan oleh kebijakan luar negeri, melainkan disembunyikan. Hal ini terlihat jelas dalam langkah-langkah terbaru duta besar Saudi dan, secara umum, kebijakan kedekatan Saudi dengan Irak.
Secara geopolitik, Irak dianggap sangat penting di kawasan yang ikut menentukan persaingan dan keseimbangan kekuatan regional. Perkembangannya berdampak serius pada keamanan dan stabilitas kawasan.
Sejak tahun 2003, dan dengan perolehan kekuasaan kaum Syiah dalam struktur pemerintahan Irak karena jumlah mereka yang mayoritas, terjadi pergeseran yang signifikan pada koalisi regional dan internasional. Yang paling menentukan di antaranya adalah kemunculan aliansi strategis Iran-Irak dan perubahan Irak menjadi bagian dari Poros Perlawanan. Blok ini mengupayakan kemerdekaan negara-negara regional dan menentang imperialisme Barat serta pendudukan Israel atas Palestina.
Dalam beberapa tahun terakhir, Irak mengalami dinamika politik, ekonomi, dan sosial. Tantangan ekonomi, korupsi, monopoli partai, krisis layanan publik, dan pengangguran telah mengubah lanskap perkembangannya. Sejak protes tahun 2019, tidak ada pemerintahan yang mampu menjalankan masa jabatan empat tahun penuh. Munculnya perpecahan antar-Syiah setelah konfrontasi antara Gerakan Sadrist dan faksi-faksi Syiah lainnya merupakan efek samping dari demonstrasi.
Menurut paper tersebut, perkembangan ini tampaknya membawa Saudi pada kesimpulan bahwa kebijakan konfrontatif terhadap Syiah Irak menjadi salah satu alasan bagi Irak untuk mengandalkan Teheran sebagai satu-satunya sekutu strategis. Maka, penekanan pada unsur identitas dan nasionalisme Arab terlepas dari keyakinan Irak dapat mengurangi ketergantungan Syiah pada Teheran. Misalnya, duta besar menyoroti "ikatan darah, identitas dan sejarah Arab" antara kedua negara dalam pertemuan dengan orang-orang terkemuka dan pemimpin suku di Najaf.
Pendekatan ini pernah dipakai Donald Trump dalam kampanye "tekanan maksimum" anti-Iran. Gedung Putih berusaha memenuhi kebutuhan Irak akan Iran, khususnya dalam hal kekuasaan, bekerja sama dengan negara-negara Arab Teluk Persia dan memangkas ketergantungan ekonomi Irak pada Iran. Pendekatan yang sama dijalankan selama beberapa tahun di Suriah, meski terbukti tidak realistis. Kembalinya Suriah ke Liga Arab dan janji-janji keistimewaan ekonomi bagi Damaskus ternyata gagal memengaruhi hubungan Teheran-Damaskus. Dan kini, menurut paper tersebut, Riyadh bersikeras mengulang skenario gagal itu di Irak.[IT/AR]
Story Code: 1141706