Senegal - Prancis:
PM Senegal: Pendudukan Prancis Harus Diakhiri
18 May 2024 23:15
IslamTimes - Perdana Menteri Senegal Ousmane Sonko telah menyarankan penutupan pangkalan militer Prancis di negara tersebut, dengan menyatakan bahwa kehadiran mereka dalam jangka panjang tidak sesuai dengan keinginan negara Afrika Barat tersebut untuk mendapatkan kendali penuh atas urusan negaranya.
Pernyataan tersebut disampaikan menteri pada konferensi bersama dengan politisi sayap kiri Prancis Jean-Luc Melenchon di ibu kota Senegal, Dakar, pada hari Kamis (16/5).
“Lebih dari 60 tahun setelah kemerdekaan kita… kita harus mempertanyakan alasan mengapa tentara Perancis misalnya masih mendapat manfaat dari beberapa pangkalan militer di negara kita dan dampak kehadiran ini terhadap kedaulatan nasional dan otonomi strategis kita,” kata Sonko.
Prancis saat ini memiliki sekitar 350 tentara di Senegal setelah negara itu mulai mengurangi jumlah kontingennya yang berjumlah 1.200 personel yang bermarkas di sana pada tahun 2010. Para kritikus mengecam kehadiran pasukan tersebut sebagai kelanjutan dominasi Prancis atas bekas jajahan tersebut, meskipun telah merdeka pada tahun 1960.
Pada hari Kamis, Sonko, mantan pemimpin oposisi populer yang menjadi perdana menteri setelah calon presiden pilihannya, Bassirou Diomaye Faye, menang telak dalam pemilu pada bulan Maret, mengatakan beberapa negara telah menjanjikan perjanjian pertahanan Senegal.
“Tetapi hal ini tidak membenarkan fakta bahwa sepertiga wilayah Dakar kini diduduki oleh garnisun asing,” katanya.
Negara-negara tetangga Senegal – Burkina Faso, Mali, dan Niger – semuanya meminta bantuan keamanan kepada Rusia setelah mengusir pasukan Prancis.
Ouagadougou, Bamako, dan Niamey juga telah membentuk aliansi negara-negara Sahel dan bersama-sama mengumumkan pada bulan Januari keluarnya mereka dari Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat [ECOWAS].
Dalam pidatonya, Sonko menyatakan bahwa Senegal akan memperdalam hubungan dengan pemerintah yang melakukan kudeta di Mali, Burkina Faso, dan Niger.
“Kami tidak akan melepaskan saudara-saudara kami di Sahel dan kami akan melakukan segala hal yang diperlukan untuk memperkuat hubungan,” kata perdana menteri.
Dia juga mengatakan Senegal, yang berbagi mata uang Franc CFA yang dipatok euro dengan tujuh negara lainnya, akan lebih memilih mata uang yang fleksibel untuk membantu meredam guncangan dan meningkatkan daya saing ekspor. Presiden Faye awalnya berjanji untuk meninggalkan Franc CFA selama kampanye pemilu tetapi kemudian membatalkannya.
Niger, Burkina Faso, dan Mali telah mengisyaratkan untuk membuang Franc CFA dan memilih mata uang bersama, sebuah langkah yang disebut Niamey sebagai “langkah keluar dari penjajahan.”[IT/r]
Story Code: 1135976