Netanyahu dan Kekosongan Prestasi Perangnya
29 Nov 2024 09:25
Islam Times - Setelah lebih dari dua bulan melancarkan pemboman besar-besaran terhadap markas Hizbullah, wilayah pemukiman, serta pembunuhan terhadap para pemimpin dan komandan tertingginya dengan menggunakan jet tempur canggih yang dipasok oleh Amerika Serikat, Israel akhirnya terpaksa menyetujui gencatan senjata. Perang ini, yang disebut-sebut sebagai upaya untuk melumpuhkan Hizbullah, ternyata hanya memperlihatkan keterbatasan kemampuan militer dan strateginya.
Israel telah mengerahkan segala cara untuk mematahkan semangat perlawanan Hizbullah dan memaksanya menyerah. Tindakan dimulai dengan operasi-operasi terselubung, seperti meledakkan alat komunikasi pada 17 dan 18 September. Tidak cukup sampai di situ, pemboman besar-besaran pun diarahkan ke kawasan pemukiman yang sebagian besar dihuni komunitas Syiah, dengan harapan dapat memicu pemberontakan internal terhadap Hizbullah atau bahkan membangkitkan konflik sektarian yang mengingatkan pada perang saudara Lebanon 1975-1990.
Namun, strategi ini gagal total. Alih-alih mengisolasi Hizbullah, tindakan brutal Israel justru memperkuat solidaritas rakyat Lebanon. Dukungan terhadap Hizbullah muncul dari berbagai elemen masyarakat, termasuk kelompok-kelompok politik yang sebelumnya memiliki perbedaan pandangan. Bahkan dalam kondisi ekonomi yang sedang terpuruk dan di tengah tekanan sanksi internasional, masyarakat Lebanon bersatu membantu lebih dari 1,2 juta orang yang terpaksa mengungsi akibat agresi Israel.
Hasilnya, Israel tidak memiliki apa pun yang layak dibanggakan dari perang ini. Meski memanfaatkan teknologi militer canggih seperti jet tempur dan bom penghancur bunker, tujuan utamanya untuk melumpuhkan Hizbullah tidak tercapai. Sebaliknya, Israel justru terpaksa menerima gencatan senjata setelah menghadapi kenyataan bahwa roket dan rudal Hizbullah berhasil menghantam Haifa dan Tel Aviv, jutaan warga Israel terpaksa berlindung di tempat penampungan, dan pasukan militernya mengalami kerugian besar dalam operasi darat di Lebanon selatan. Bahkan, ancaman terhadap kediaman Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menunjukkan betapa perang ini menjadi bumerang bagi Israel.
Lebih dari itu, keberanian para pejuang Hizbullah menghidupkan kembali kenangan pahit pasukan Israel akan perang tahun 2006, di mana ambisi militer mereka juga gagal membuahkan hasil. Perang ini sekali lagi membuktikan bahwa kekuatan militer canggih tidak selalu menjamin kemenangan, terutama jika lawan memiliki tekad kuat untuk melawan.
Sebagai pemimpin, Netanyahu kini menghadapi sorotan internasional yang tajam. Tidak hanya gagal meraih tujuan strategisnya, ia juga semakin dikenal luas sebagai penjahat perang. Tindakannya di Lebanon dan Jalur Gaza, yang meliputi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, telah menjadi perhatian dunia. Gagalnya strategi ini tidak hanya merusak reputasi Israel sebagai kekuatan militer dominan di kawasan, tetapi juga memperlihatkan kekosongan moral dalam kebijakan perang yang mengorbankan rakyat sipil.
Kini, saat debu perang mulai mereda, Netanyahu harus mempertanyakan apa yang sebenarnya telah ia capai. Apakah semua kekejaman ini sepadan dengan kerugian yang dialami, baik secara militer maupun politik? Atau, apakah ini hanyalah lembaran lain dalam catatan panjang kegagalan Israel di hadapan perlawanan yang tidak bisa dibungkam oleh senjata modern? [IT/MT]
Story Code: 1175483