Palestina vs Zionis Israel:
Kebangkitan Perjuangan Palestina: Badai Al-Aqsa
9 Oct 2024 04:47
IslamTimes – Solusi “Dua Negara” dinyatakan mati, terkubur di bawah lapisan pengabaian, sementara pemerintah Zionis “Israel” menikmati kemakmuran.
Perjanjian Abraham secara efektif menggantikan pencarian solusi “dua negara”, yang menyebabkan Zionis “Israel” merasa kurang urgensi dalam mengejar perundingan perdamaian dengan Palestina.
Ketika negara-negara Arab berlomba-lomba untuk menormalisasi hubungan dengan Zionis “Israel” dan membentuk aliansi melawan musuh baru mereka, Iran, perjuangan Palestina tampaknya memudar ke latar belakang.
Menyadari kesulitan ini, warga Palestina merasa terdorong untuk mengambil tindakan untuk membangkitkan kembali perjuangan mereka, memahami bahwa kebebasan sering kali menuntut pengorbanan.
Dengan demikian, Banjir Al Aqsa dimulai pada 7 Oktober 2023, menandai titik balik yang signifikan bagi Zionis “Israel” baik secara internal maupun global. Serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh pasukan Palestina hari itu memicu reaksi berantai, yang sangat memengaruhi ekonomi, militer, dan citra global Zionis “Israel”.
Esai ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak-dampak ini sambil mengakui konteks perjuangan Palestina, yang sangat penting untuk memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari yang menentukan itu.
Mengapa 7 Oktober Terjadi
Untuk memahami peristiwa-peristiwa 7 Oktober, penting untuk melihat situasi melalui sudut pandang Palestina. Penderitaan selama bertahun-tahun yang dialami oleh rakyat Palestina telah menumbuhkan rasa putus asa dan tidak berdaya yang mendalam.
Sejak berdirinya Zionis "Israel" pada tahun 1948, warga Palestina telah menghadapi perampasan, pendudukan, dan ketidaksetaraan sistemik.
Jalur Gaza, yang merupakan rumah bagi lebih dari dua juta warga Palestina, sering digambarkan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia, di mana pembatasan pergerakan, kekurangan ekonomi, dan kehadiran militer yang terus-menerus memicu kepahitan dan kebencian.
Di bawah blokade sejak 2007, Gaza telah terisolasi dari seluruh dunia, yang mengakibatkan kondisi kemanusiaan yang mengerikan. Kurangnya akses ke sumber daya dasar seperti air bersih, listrik, dan pasokan medis telah membuat warga Palestina di Gaza terus-menerus menderita.
Kesepakatan Abraham, yang ditandatangani pada tahun 2020, menormalisasi hubungan antara Zionis "Israel" dan beberapa negara Arab tetapi gagal mengatasi masalah mendasar tentang kenegaraan Palestina.
Bagi banyak warga Palestina, kesepakatan tersebut merupakan pengkhianatan, yang memungkinkan Zionis "Israel" menghindari masalah Palestina sambil menjalin aliansi dengan negara-negara Arab.
Akibatnya, tekanan internasional terhadap Zionis "Israel" untuk merundingkan solusi "dua negara" berkurang, dengan banyak pejabat Zionis "Israel" secara terbuka menyatakan perlunya solusi semacam itu menjadi usang.
Dihadapkan dengan meningkatnya ketidakadilan dan meningkatnya keputusasaan, warga Palestina merasa terdorong untuk merespons. Tindakan yang diambil pada tanggal 7 Oktober didorong bukan hanya oleh urgensi penderitaan mereka tetapi juga oleh persepsi mereka bahwa identitas dan hak nasional mereka secara sistematis dihapus dari narasi geopolitik.
Sentimen yang sangat kuat di antara warga Palestina adalah kehilangan, terutama karena mereka menyaksikan berkurangnya dukungan global untuk perjuangan mereka—terutama karena sekutu tradisional terlibat dalam upaya normalisasi dengan Zionis "Israel", yang semakin mengesampingkan aspirasi mereka untuk menjadi negara.
Bagi warga Palestina yang terpinggirkan dari wacana internasional, serangan tersebut melambangkan permohonan putus asa agar penderitaan mereka diperhatikan dan penolakan tegas terhadap status quo.
Wilayah mereka terus menyusut akibat perluasan pemukiman Zionis "Israel" yang tak henti-hentinya, dan harapan mereka untuk negara Palestina yang layak tampaknya semakin tidak dapat dicapai.
Dampak pada Militer Zionis "Israel"
Selama beberapa dekade, militer Zionis "Israel" telah dianggap sebagai salah satu kekuatan paling tangguh di kawasan tersebut.
Dengan teknologi canggih, pasukan yang terlatih dengan baik, dan reputasi keunggulan strategis, Zionis "Israel" menampilkan dirinya sebagai kekuatan regional yang mampu mempertahankan diri dan sekutu Arab barunya.
Namun, serangan pada tanggal 7 Oktober mengungkap kerentanan dalam sistem pertahanan Zionis "Israel" yang sebelumnya diabaikan. Skala serangan yang sangat besar, ditambah dengan ancaman rudal yang terus berlanjut dari Gaza dan Hizbullah di Lebanon, telah menguji kemampuan militer "Israel" hingga ke batas maksimalnya.
Sementara Iron Dome dan sistem rudal lainnya telah mencegat banyak roket yang masuk, volume dan intensitas serangan telah membanjiri pertahanan ini, menguras sumber daya Zionis "Israel" pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Akibatnya, "Israel" semakin beralih ke Amerika Serikat dan sekutu Baratnya untuk mendapatkan bantuan militer.
Ketergantungan ini mencakup penyediaan intelijen, amunisi, dan dukungan dalam mencegat rudal dari Hizbullah dan Iran.
Ketergantungan pada kekuatan eksternal menantang citra Zionis "Israel" sebagai kekuatan militer mandiri yang mampu melindungi dirinya sendiri dan sekutu regionalnya.
Sekarang, Zionis "Israel" sendiri mencari perlindungan dan bantuan, menyoroti keterbatasan kemampuan militernya dalam menghadapi konflik yang berkelanjutan.
Dampak Ekonomi
Sebelum 7 Oktober, ekonomi Zionis "Israel" berkembang pesat. Pertumbuhan yang stabil selama bertahun-tahun, inovasi teknologi, dan investasi asing yang kuat telah menempatkan Zionis "Israel" sebagai pemimpin dalam ekonomi global, khususnya di sektor-sektor seperti teknologi, militer, dan kedokteran.
Namun, serangan tersebut telah memicu kemerosotan ekonomi yang telah menimbulkan dampak yang parah. Berbagai bisnis di seluruh entitas tersebut, khususnya di wilayah yang dilanda konflik, telah tutup, yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan.
Kepercayaan konsumen telah anjlok, yang memperburuk ketidakstabilan keuangan. Pariwisata, pilar utama ekonomi Zionis "Israel", telah runtuh karena para pengunjung menjauh dari zona konflik.
Para investor yang dulunya memandang Zionis "Israel" sebagai lingkungan yang stabil untuk pertumbuhan kini menarik diri, yang menyebabkan penurunan tajam di pasar saham dan penurunan peringkat kredit Zionis "Israel".
Ketidakstabilan ekonomi ini dapat memiliki konsekuensi yang bertahan lama bagi kebijakan fiskal entitas tersebut dan kemampuan untuk menarik investasi asing. Lebih jauh lagi, kerusakan jangka panjang pada lingkungan bisnis Zionis "Israel" sangat dalam.
Perusahaan-perusahaan global, yang dulunya ingin membangun pijakan di Zionis "Israel", kini mempertimbangkan kembali kehadiran mereka karena ketidakstabilan yang sedang berlangsung.
Gangguan rantai pasokan, keterlambatan produksi, dan meningkatnya risiko keamanan telah memaksa banyak bisnis untuk menilai kembali operasi mereka.
Ekonomi "Israel", yang dulunya merupakan model keberhasilan di kawasan tersebut, kini merosot di bawah beban konflik dan ketidakpastian.
Citra Global Zionis "Israel" yang Ternoda
Posisi internasional Zionis "Israel", yang sudah kontroversial karena kebijakannya terhadap Palestina, telah mengalami pukulan yang signifikan sejak 7 Oktober.
Sementara beberapa negara terus menegaskan hak Zionis "Israel" untuk membela diri, semakin banyak negara yang menjauhkan diri.
Di Eropa dan tempat lain, seruan untuk memboikot produk dan investasi Zionis "Israel" telah mendapatkan momentum, didorong oleh kekhawatiran atas korban kemanusiaan dari respons militer Zionis "Israel" terhadap serangan Palestina.
Meningkatnya sentimen anti-Zionis “Israel” juga disertai dengan kebangkitan anti-Semitisme di beberapa belahan dunia, yang semakin memperumit wacana global.
Protes pro-Palestina telah meletus di kota-kota di seluruh dunia, dengan banyak yang menuntut sanksi internasional yang lebih kuat dan divestasi dari perusahaan-perusahaan Zionis “Israel”.
Zionis “Israel”, yang telah lama dipandang oleh sekutunya sebagai entitas “demokratis” di wilayah yang “bermusuhan”, semakin dipandang sebagai penjajah dan agresor di mata opini publik global.
Pergeseran persepsi ini sangat mencolok mengingat keuntungan diplomatik yang diperoleh Zionis “Israel” melalui Perjanjian Abraham. Perjanjian-perjanjian ini, yang dipuji sebagai terobosan dalam hubungan Arab-Zionis “Israel”, menormalisasi hubungan antara “Israel” dan beberapa negara Arab.
Namun, peristiwa 7 Oktober telah menyalakan kembali dukungan untuk Perjuangan Palestina, menyatukan sebagian besar dunia Arab dan Muslim dalam mengutuk tanggapan Zionis “Israel”.
Beberapa negara kini tengah mengevaluasi kembali hubungan diplomatik mereka dengan Zionis "Israel", yang menandakan kemungkinan terurainya aliansi rapuh yang dibangun melalui kesepakatan tersebut.
Kesimpulan
Peristiwa 7 Oktober 2023 telah mengubah lanskap konflik Zionis "Israel"-Palestina secara dramatis. Bagi warga Palestina, serangan tersebut merupakan kebangkitan perjuangan mereka—pernyataan kuat terhadap penderitaan, marginalisasi, dan pendudukan selama bertahun-tahun.
Tindakan mereka, yang didorong oleh kesulitan hidup yang tak kunjung usai di bawah kendali Zionis "Israel", telah membawa perhatian baru pada perjuangan mereka untuk mendapatkan status kenegaraan dan martabat.
Sementara itu, Zionis "Israel" tengah menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perekonomiannya memburuk, militernya tegang, dan citra globalnya semakin ternoda.
Konflik tersebut telah mengungkap kerapuhan posisi Zionis "Israel" di kawasan tersebut, yang merusak persepsi tentang ketangguhan dan kemandiriannya.
Saat dunia menyaksikan dampak Banjir Al-Aqsa, jelaslah bahwa Perjuangan Palestina telah bangkit kembali, dan masyarakat global sekali lagi dipaksa untuk menghadapi perlunya penyelesaian yang adil dan langgeng atas perjuangan mereka.
Perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut tidak dapat dicapai tanpa mengatasi keluhan mendalam rakyat Palestina.[IT/r]
Story Code: 1165290