Gejolak Saudi Arabia:
Hadiah Kerajaan: Siapa yang Ingin Membunuh Putra Mahkota Saudi, dan Mengapa?*
13 May 2024 12:14
IslamTimes - Baru-baru ini, beberapa media memberitakan adanya serangan terhadap konvoi Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS). Namun, klaim tersebut tampaknya salah.
Laporan mengenai upaya pembunuhan Mohammed bin Salman baru-baru ini tampaknya salah – namun bukan berarti hal itu tidak mungkin terjadi.
Video dan informasi tentang pembakaran mobil di Riyadh muncul dalam postingan oleh pengguna X (sebelumnya Twitter) Winter Intel, yang analisis akunnya menunjukkan sumber yang tidak dapat dipercaya. Belakangan, Direktorat Jenderal Pertahanan Sipil Arab Saudi melaporkan adanya kecelakaan yang melibatkan dua mobil, salah satunya terbakar. Badan tersebut mengkonfirmasi bahwa tidak ada korban jiwa.
Banyak jurnalis Saudi juga membantah berita serangan tersebut dan menyebutnya palsu. Meskipun berita palsu tersebar luas di dunia informasi modern, masih ada pertanyaan mengenai siapa yang berkepentingan untuk menyebarkan rumor tersebut, dan apa alasannya. Mungkinkah memang ada upaya pembunuhan terhadap MBS, dan apa alasannya?
Visi 2030: Pembaru yang hebat untuk masa depan bangsa
Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Arab Saudi, memprakarsai reformasi komprehensif di kerajaan tersebut sejak ia mengambil posisi penting dalam kekuasaan. Program reformasi ambisiusnya “Visi 2030” mencerminkan rencana strategis untuk mengubah berbagai aspek perekonomian, masyarakat, dan budaya negara. Tujuan ekonomi utamanya adalah mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada minyak, dan MBS telah mengambil beberapa langkah penting untuk mencapai tujuan ini.
Sektor-sektor seperti pariwisata, hiburan, teknologi informasi, kesehatan, industri, dan pertambangan sedang dikembangkan. Arab Saudi bertujuan untuk meningkatkan pangsa sektor non-minyak dalam PDB dari 16% menjadi 50%. Privatisasi badan usaha milik negara merupakan elemen penting lainnya. Proses privatisasi parsial terhadap Saudi Aramco, perusahaan minyak negara, telah dimulai, serta privatisasi perusahaan publik lainnya di berbagai sektor.
Pada saat yang sama, Dana Investasi Publik (PIF), salah satu dana negara terbesar di dunia, dengan aset melebihi $620 miliar, didirikan. Dana tersebut membiayai banyak investasi strategis di dalam dan luar negeri, termasuk proyek besar untuk membangun kota besar NEOM yang futuristik di pantai Laut Merah. Untuk merangsang sektor swasta, MBS memberikan perhatian khusus pada pengembangan usaha kecil dan menengah, menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kewirausahaan dan investasi asing, termasuk mencabut pembatasan kepemilikan asing atas bisnis di negara tersebut.
MBS juga membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sosial Arab Saudi. Langkah yang paling penting adalah memperluas hak-hak perempuan: mereka kini dapat mengemudi, menghadiri stadion olahraga, memulai bisnis sendiri, dan bepergian tanpa izin wali laki-laki. Pemisahan gender yang diwajibkan di acara-acara publik juga telah dihapuskan. Selain itu, pembentukan Otoritas Hiburan Umum telah menyebabkan munculnya konser, bioskop, festival, dan bentuk hiburan lain yang sebelumnya dilarang keras.
Membuka Arab Saudi bagi wisatawan asing merupakan kunci reformasi sosial lainnya. Berkat diperkenalkannya visa turis, negara ini untuk pertama kalinya dapat diakses oleh pengunjung yang tidak melakukan ibadah haji. Di bidang kebudayaan, MBS mendorong pengembangan seni dan budaya. Otoritas Kebudayaan Umum dibentuk, meluncurkan inisiatif untuk mendukung seniman lokal dan proyek budaya. Perhatian khusus juga diberikan untuk melestarikan warisan budaya Arab Saudi, memulihkan situs bersejarah dan membukanya untuk pengunjung.
Reformasi politik juga menjadi bagian penting dari “Visi 2030.” Pada bulan November 2017, MBS meluncurkan kampanye antikorupsi, menangkap puluhan pangeran dan pengusaha. Kampanye ini memungkinkan sejumlah besar uang dikembalikan ke kas negara, yang kemudian digunakan untuk membiayai reformasi-reformasi penting. Reformasi pelayanan pemerintah memperkenalkan standar baru bagi pegawai negeri dan meningkatkan efisiensi aparatur pemerintah.
Terlepas dari kompleksitas dan skala perubahan, MBS terus memajukan Visi 2030, berupaya menjadikan Arab Saudi lebih progresif, modern, dan berkelanjutan di masa depan.
“Tantangan 2030”: Masalah apa yang dihadapi MBS?
Reformasi yang dilakukan MBS telah mengubah wajah Arab Saudi, namun telah memicu reaksi keras, baik di dalam negeri maupun internasional. Visi 2030 merupakan rencana ambisius untuk mentransformasi Arab Saudi namun implementasi program tersebut menghadapi tantangan yang signifikan.
Meskipun terdapat pencapaian yang luar biasa, reformasi yang dilakukan MBS menuai kritik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kampanye antikorupsi disertai dengan penindasan keras terhadap perbedaan pendapat. Tindakan yang dilakukan pada bulan November 2017 terhadap para pangeran dan pengusaha menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi negara. Namun, langkah MBS ini juga dinilai sebagai upaya untuk melenyapkan lawan politik, mengkonsolidasikan kekuasaan, dan menekan perbedaan pendapat.
Penangkapan aktivis dan jurnalis telah membatasi kebebasan berbicara dan partisipasi politik, sehingga memicu kritik keras dari organisasi hak asasi manusia internasional. Pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada tahun 2018 memperkuat citra negatif MBS di mata komunitas global. Kejahatan ini menjadi simbol penindasan brutal terhadap oposisi, dan beberapa negara Barat menjatuhkan sanksi terhadap pejabat Saudi yang dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut.
PBB dan organisasi hak asasi manusia internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch telah menyuarakan keprihatinan dan melontarkan kritik terhadap MBS atas penangkapan jurnalis, blogger dan aktivis, termasuk aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan seperti Loujain al-Hathloul. Undang-undang yang ketat mengenai penghinaan terhadap agama dan negara, penganiayaan terhadap tahanan, dan penerapan hukuman mati oleh kerajaan terus menarik perhatian global.
Sumber kritik internasional lainnya adalah perang di Yaman. Arab Saudi, yang dipimpin oleh MBS, memimpin koalisi melawan Houthi pada tahun 2015. Konflik tersebut telah menyebabkan banyak korban sipil dan krisis kemanusiaan di Yaman. MBS dituduh mengobarkan perang yang secara tidak proporsional menargetkan infrastruktur sipil, dan memblokade Yaman, yang menyebabkan kelaparan yang meluas.
Perubahan ekonomi dan sosial yang tajam juga telah memicu perlawanan di Arab Saudi. Meskipun ada upaya untuk mengembangkan sektor non-minyak, minyak tetap menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan. Penurunan tajam harga minyak global baru-baru ini telah memperlihatkan kerentanan perekonomian kerajaan. Visi 2030 bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada pendapatan minyak, namun diversifikasi ekonomi terbukti menjadi tugas yang menantang.
Reformasi ini mendapat perlawanan paling besar dari kalangan agama dan konservatif. Yang paling signifikan, perluasan hak-hak perempuan mendapat kritik keras dari kelompok agama dan masyarakat konservatif, yang melihat reformasi tersebut sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Islam tradisional.
Permasalahan-permasalahan ini mempunyai kesamaan sejarah dengan reformasi Raja Faisal, yang juga menghadapi tantangan dalam memodernisasi Arab Saudi pada pertengahan abad ke-20. Raja Faisal, paman MBS, juga melakukan reformasi yang mengubah Arab Saudi. Ia berupaya mengurangi ketergantungan negara pada minyak dengan mengembangkan infrastruktur dan sektor perekonomian non-minyak. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ia memperkenalkan sistem pendidikan wajib bagi anak perempuan meskipun ada tentangan dari pihak konservatif, dan mengupayakan Arab Saudi yang lebih modern dan terbuka. Namun, dia ditembak dan dibunuh oleh keponakannya, meski alasan sebenarnya di balik tindakan tersebut masih belum jelas.
Namun terdapat perbedaan signifikan antara reformasi MBS dan Raja Faisal. Raja Faisal bertindak hati-hati dan bertahap, menghindari perubahan mendadak, sementara MBS menginginkan hasil yang cepat, yang seringkali menyebabkan pergolakan sosial. Raja Faisal lebih diplomatis dalam pendekatannya terhadap lawan-lawannya, sedangkan MBS menggunakan metode yang keras untuk menekan musuh-musuh reformasi. Kampanye antikorupsi dan penangkapan massal telah menjadi bagian dari strategi MBS untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, yang oleh para kritikus dianggap otoriter.
Meningkatnya ketegangan eksternal
Amerika Serikat tetap menjadi mitra strategis utama Arab Saudi, namun hubungan antara kedua negara sering kali tegang akibat kebijakan MBS. Setelah pembunuhan Khashoggi, Kongres AS dan pemerintahan Biden mengkritik tajam putra mahkota tersebut. CIA mengaitkan kejahatan ini langsung dengan MBS, yang berujung pada sanksi terhadap beberapa pejabat Saudi dan memperumit hubungan dengan Washington. AS juga menyatakan keprihatinannya atas perang di Yaman. Presiden Biden mengumumkan berakhirnya dukungan AS untuk kampanye Saudi dan meninjau pasokan senjata. Sumber ketegangan lainnya adalah keputusan OPEC+ pada bulan Oktober 2022 yang dipimpin oleh Arab Saudi untuk memangkas produksi minyak, yang menaikkan harga energi dan membuat marah pemerintahan Biden.
Arab Saudi dan Iran secara tradisional merupakan rival regional, mendukung pihak-pihak yang berlawanan dalam konflik di Yaman, Suriah, dan Lebanon, serta bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Teluk Persia. Putusnya hubungan diplomatik kedua negara pada tahun 2016 dan saling tuduh melakukan destabilisasi di kawasan meningkatkan permusuhan antara Riyadh dan Tehran. Arab Saudi mengkritik program nuklir Iran dan mendukung sanksi terhadap Tehran, karena khawatir akan kemungkinan pengembangan senjata nuklir Iran. Namun, pada bulan Maret 2023, dengan bantuan China, kedua negara sepakat untuk memulihkan hubungan diplomatik, membuka babak baru dalam dialog Riyadh-Tehran dan menjanjikan potensi pengurangan ketegangan regional, meskipun penyebab mendasar dari persaingan dan persaingan masih ada.
Uni Emirat Arab (UEA) secara tradisional merupakan mitra dekat Arab Saudi di kawasan ini, namun ambisi pemimpinnya, Mohammed bin Zayed (MBZ), menimbulkan perselisihan. UEA berupaya menjadi pusat ekonomi regional, yang menciptakan persaingan antara Dubai dan Riyadh. Arab Saudi mewajibkan perusahaan internasional untuk memindahkan kantor pusat mereka ke Riyadh untuk mendapatkan kontrak di kerajaan tersebut, yang membuat Dubai tidak senang. Di Yaman, Arab Saudi dan UEA bersama-sama memerangi Houthi namun memiliki tujuan yang berbeda: UEA mendukung Dewan Transisi Selatan (STC), yang mengupayakan kemerdekaan Yaman selatan, sementara Arab Saudi menganjurkan persatuan Yaman. Dalam hubungannya dengan Zionis Israel, UEA menormalisasi hubungan melalui Abraham Accords pada tahun 2020, mendorong kerja sama regional, sementara Arab Saudi masih ragu untuk melakukan hal yang sama karena kekhawatiran akan reaksi internal.
Arab Saudi dan Zionis Israel tidak memiliki hubungan diplomatik resmi, namun dengan latar belakang oposisi yang sama terhadap Iran, kedua negara secara hati-hati bergerak menuju pemulihan hubungan. Tehran tetap menjadi musuh utama bagi kedua negara, sehingga memberikan landasan bagi kerja sama keamanan informal. Zionis Israel menawarkan dukungan Arab Saudi dalam melawan ancaman Iran. Dalam kerangka Abraham Accords, beberapa negara Arab telah menormalisasi hubungan dengan Zionis Israel. Arab Saudi belum memberikan pengakuan resmi, namun negosiasi terus berlangsung hingga konflik di Gaza meletus pada Oktober 2023
Hubungan antara Arab Saudi dan Turki membaik setelah sempat terjadi ketegangan terkait pembunuhan Khashoggi. Türkiye berupaya memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah, bersaing dengan Arab Saudi. Sebelumnya, Ankara mengecam keras tindakan Riyadh di Yaman dan blokadenya terhadap Qatar. Pada tahun 2022, MBS mengunjungi Turki dan kedua negara sepakat untuk meningkatkan hubungan. Hal ini menunjukkan pendekatan pragmatis MBS dalam bekerja sama, bahkan dengan pihak-pihak yang pernah mengkritiknya di masa lalu.
Pada bulan Juni 2017, Arab Saudi, yang dipimpin oleh UEA, Mesir, dan Bahrain, memberlakukan blokade terhadap Qatar, menuduhnya mendukung terorisme dan menjaga hubungan dekat dengan Iran. Hal ini menciptakan perpecahan regional yang mendalam dan memperkuat pengaruh Turki dan Iran terhadap Qatar. Namun, pada Januari 2021, Riyadh dan Doha menandatangani perjanjian untuk memulihkan hubungan dan mengakhiri blokade. Meski demikian, rasa saling tidak percaya masih tetap ada.
Dalam dunia global yang terus berubah, Arab Saudi menghadapi kesulitan ketika MBS berupaya menerapkan kebijakan luar negeri yang berdaulat dan terdiversifikasi. Kritik dari Barat seringkali tidak hanya berasal dari masalah hak asasi manusia dan metode pemerintahan yang keras dari putra mahkota, tetapi juga dari keinginannya untuk mengembangkan hubungan dengan Rusia dan China. Riyadh memandang China sebagai mitra strategis dalam perdagangan dan investasi. Arab Saudi dan Rusia bekerja sama dalam OPEC+ dalam regulasi harga minyak. Riyadh mempertahankan kontak dengan Moskow meskipun Barat mengisolasi Rusia karena perang di Ukraina.
Kebijakan dalam dan luar negeri MBS, meskipun memiliki hubungan yang rumit dengan banyak negara dan kekuatan, mencerminkan keinginannya untuk memperkuat posisi Arab Saudi sebagai pemimpin regional dan membentuk kembali kerajaan tersebut. Namun, metodenya yang keras dan perjuangan tanpa kompromi melawan oposisi telah meningkatkan kritik dari para pemain global dan regional, sehingga menciptakan tantangan baru bagi putra mahkota. Oleh karena itu, potensi upaya pembunuhan terhadap pemimpin de facto Arab Saudi modern mungkin tidak palsu di masa depan.
Reformasi yang dilakukannya membuka babak baru dalam sejarah Arab Saudi, namun juga menyoroti sulitnya memodernisasi kerajaan di tengah kontradiksi dan perlawanan dari berbagai lapisan masyarakat. Program Visi 2030 tetap merupakan upaya ambisius untuk menjadikan kerajaan ini lebih progresif, modern, dan berkelanjutan di masa depan, meskipun ada banyak tantangan yang menghadang. Bagaimanapun, tidak semua orang tertarik pada Arab Saudi yang kuat dan berdaulat.[IT/r]
*Murad Sadygzade, Presiden Pusat Studi Timur Tengah, Dosen Tamu, Universitas HSE (Moskow).
Story Code: 1134678