Hubungan Iran-Yaman Berpusat pada Cita-cita Anti-Imperialisme dan Anti-Zionisme
28 Jan 2024 08:00
Islam Times - Yaman bukanlah proksi Iran. Kesamaan keduanya dalam membela Palestina bersumber dari tradisi Islam yang sama, yang mendorong Muslimin untuk melawan kekuatan penindas apapun, simpul Xavier Villar, seorang peneliti yang berbasis di Spanyol.
Dalam sebuah artikel yang dimuat di Press TV, Villar memulai tulisannya dengan mengatakan bahwa pemerintah Yaman dan militernya telah menunjukkan kepada dunia keberanian dan kepahlawanannya menyusul perang yang digelar Israel di Jalur Gaza.
Serangkaian serangan terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Laut Merah, serta kapal-kapal milik AS dan Inggris, yang dilakukan oleh militer Yaman, telah mendorong perusahaan-perusahaan pelayaran besar untuk menghindari jalur perairan strategis tersebut, sehingga menimbulkan pukulan berat bagi ekonomi rezim Zionis.
Beberapa kelompok, lanjut Villar, secara keliru menyebut Yaman sebagai “proksi Iran”. Menurut doktrin Barat ini, Iran sebagai sebuah negara menggunakan kekuatannya untuk mengendalikan kelompok Yaman.
Padahal, hubungan ini adalah hubungan politik berdasarkan visi revolusioner yang diartikulasikan seputar Islam antara Republik Islam, sebagai pembela negara-negara tertindas di seluruh dunia, dan kelompok perlawanan Yaman.
Penolakan Ansarullah terhadap campur tangan Saudi di negaranya disebabkan oleh rasa penindasan dan tidak adanya keadilan yang dirasakan dan dikeluhkan rakyat Yaman selama bertahun-tahun. Penolakan yang berakar dari dimensi politik yang berasal dari Islam ini menjelaskan kemunculan bebberapa pemberontakan terhadap pemerintah bekas dukungan Saudi di Yaman antara tahun 2004 dan 2010.
Pada tahun 2011, selama "Musim Semi Arab", keluhan masyarakat Yaman mencapai titik kritis, yang berujung pada protes besar-besaran menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh, yang telah memerintah negara itu dengan tangan besi selama lebih dari 30 tahun.
Setelah Saleh keluar, Arab Saudi mendukung Abdrabbuh Mansur Hadi sebagai pemimpin baru negara Arab tersebut. Ansarullah dan rakyat Yaman menolak pemilihannya dan melancarkan pemberontakan melawan pemerintah baru yang didukung Saudi, yang diikuti oleh agresi koalisi pimpinan Saudi.
Sejak tahun 2015, pemerintahan yang dipimpin Ansarullah telah mengelola ibu kota Yaman, Sana'a, serta sebagian besar pantai Laut Merah, dan mengikuti kebijakan luar negeri pragmatis yang didorong oleh kepentingan regional.
Pemerintah Yaman secara khusus menentang kehadiran pasukan asing di kawasan, termasuk Amerika Serikat, dan sangat menganjurkan pembebasan Palestina dari pendudukan Israel.
Dalam hal ini, penting untuk dipahami bahwa dukungan Yaman terhadap perjuangan Palestina tidak terbatas pada dukungan gigih kelompok Ansarallah terhadap perjuangan Palestina.
Pada awal tahun 1947, di Aden (Yaman bagian selatan) yang saat itu merupakan koloni Inggris, salah satu demonstrasi publik pertama yang menentang pemerintahan Inggris berbentuk pemogokan selama tiga hari terhadap kebijakan Inggris yang pro-Zionis di Palestina.
Tahun berikutnya, Yaman menjadi salah satu anggota awal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Delegasinya bergabung dengan perwakilan dari lima negara Arab lainnya meninggalkan aula Majelis Umum PBB ketika pemungutan suara untuk pembagian Palestina disahkan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa isu Palestina telah menjadi katalis anti-kolonial sepanjang sejarah kontemporer Yaman. Misalnya, selama 27 tahun berdirinya, Republik Demokratik Rakyat Yaman secara konsisten mendukung gerakan-gerakan Palestina, dengan penekanan khusus pada organisasi-organisasi sayap kiri Palestina.
Pada tahun 1971, mereka mengizinkan Front Populer untuk Pembebasan Palestina menyerang kapal Israel di Bab al-Mandab. Dua tahun kemudian, Mesir menutup Bab al-Mandab bagi lalu lintas maritim Israel untuk membantu Mesir dalam perang melawan Israel.
Pada tahun 1979, ketika pemimpin Mesir Anwar Sadat mengakui rezim Israel dan menandatangani Perjanjian Camp David, tanggapan dari PDRY termasuk pengusiran guru-guru Mesir dari negara tersebut, kecuali mereka yang berasal dari oposisi sayap kiri Mesir.
Setelah penyatuan Yaman pada tahun 1990, rezim Saleh terus mengakui dan mendukung Palestina. Pada tahun 2015, setelah masuknya negara asing ke negara Arab, keadaan berubah.
Faksi-faksi yang didukung oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab terus mendukung Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah, sementara gerakan perlawanan Ansarallah dan pemerintahan yang dijalankannya sangat mendukung kelompok perlawanan Palestina, seperti Hamas dan Jihad Islam.
Dukungan kelompok Yaman terhadap kelompok perlawanan Palestina ini berfungsi untuk menjelaskan pentingnya identitas dalam istilah politik untuk memahami hubungan antara Iran dan Ansarullah.
Identitas, dari sudut pandang politik, mengacu pada kesadaran diri dalam cermin interaksi dengan orang lain. Identitas ini memungkinkan adanya perbedaan politik mendasar antara teman dan musuh. Menurut penafsiran ini, aktor politik membentuk kebijakan luar negerinya berdasarkan dimensi kawan-musuh.
Pertama, kita perlu membahas sifat revolusioner Iran. Jatuhnya dinasti Pahlavi di Iran, yang berkuasa dari tahun 1925 hingga 1979, dan kemenangan serta berdirinya Republik Islam, menandai keberhasilan ideologi revolusioner yang penting untuk memahami pentingnya visi anti-kolonial dan anti-hegemonik yang menjadi dasar kebijakan luar negeri Iran.
Karena ideologi revolusioner ini, perlawanan terhadap kekuatan yang dianggap hegemonik dianggap sebagai kewajiban politik-militer.
Elemen mendasar lainnya dalam memahami identitas Republik Islam adalah dimensi Islam, yang merupakan elemen utama yang mendasari ideologi revolusioner.
Hal ini termasuk merangkul gagasan persatuan umat Islam yang dikemukakan oleh Imam Khomeini, pendiri Republik Islam, dan menjembatani kesenjangan antara Sunni dan Syiah. Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk menegaskan bahwa Islam adalah bahasa umum yang memungkinkan umat Islam berinteraksi dan berdebat di antara mereka sendiri.
Elemen lainnya adalah membangun masyarakat yang adil, yang merupakan aspirasi etis-politik yang menjadi inti ideologi Islam. Hal ini menyerukan umat Islam untuk berjuang tanpa kenal lelah melawan penindasan dalam segala bentuknya.
Dari perspektif politik-Islam yang diungkapkan oleh Republik Islam, ia melihat dunia sebagai konfrontasi antara keadilan (aql) dan penindasan (batil).
Di sisi lain, ketika mendefinisikan faktor-faktor utama yang mengartikulasikan identitas Ansarullah, perlu untuk menganalisis gagasan luas yang memperlakukan kelompok tersebut dengan cara tertentu dan Yaman dalam pengertian umum, sebagai masyarakat kesukuan yang berdasarkan pada keragaman etnis dan tanpa adanya sebuah identitas nasional.
Jenis analisis ini mengasumsikan bahwa negara-bangsa adalah elemen yang memiliki hak istimewa ketika mendefinisikan dan mengidentifikasi identitas politik. Dari reduksionisme semacam ini, mustahil untuk memahami identitas Islam Iran atau kedekatan politik antara Ansarullah dan Republik Islam.
Meskipun demikian, bagi Ansarullah, salah satu identitas historisnya adalah apa yang disebut kelompok tersebut sebagai identitas “Arab”. Identitas ini, pada gilirannya, dimediasi oleh wacana Islamis, sebuah wacana politik yang memungkinkan terjadinya berbagai artikulasi.
Wacana Islam inilah yang menjelaskan konvergensi antara Iran dan Ansarullah. Kelompok Yaman memandang Islam sebagai wacana pembebasan terhadap penindasan kolonial, baik internal maupun eksternal, serta terhadap kehadiran negara-negara yang dianggap penindas dan asing di wilayah tersebut.
Konvergensi politik ini menyoroti kurangnya penjelasan yang berupaya menggambarkan kolaborasi antara Teheran dan Sana'a semata-mata dalam kaitannya dengan afiliasi mazhab Syiah. Reduksionisme esensialis ini gagal mempertimbangkan dimensi politik Islam yang dipahami sebagai wacana.
Kedekatan politik antara Ansarullah dan Iran menjadi semakin nyata ketika mempertimbangkan ideologi revolusioner kelompok Yaman. Sejak didirikan pada tahun 1990-an, kelompok ini telah menganut doktrin Wilayat Faqih (sistem yang diperkenalkan oleh Imam Khomeini dan merupakan landasan Republik Islam saat ini) sebagai panduan etika politik dalam tindakannya di arena politik.
Di era pasca 11/9 dan apa yang disebut “perang melawan teror” oleh Amerika Serikat, Ansarullah secara terbuka menyatakan anti-imperialismenya. Pada saat yang sama, para pemimpin Ansarullah, seperti Sayyid Hussein al-Houthi, semakin sejalan secara ideologis dengan Republik Islam.
Dalam pidatonya pada tahun 2001, saat memperingati Hari Al-Quds (acara tahunan yang didirikan oleh Imam Khomeini untuk pembebasan Al-Quds), al-Houthi menekankan jalur perlawanan terhadap penindasan dan mengidentifikasi Amerika Serikat sebagai "musuh utama rakyat Yaman."
Pada tahun 2002, al-Houthi sendiri memperkenalkan apa yang kemudian menjadi slogan kelompok tersebut, "Tuhan Maha Besar, Matilah Amerika, Matilah Israel, Terkutuklah Yahudi, Kemenangan bagi Islam."
Slogan ini memiliki kesamaan diskursif dengan salah satu slogan yang paling banyak digunakan di Iran: "Marg bar Amrika" (diterjemahkan sebagai "Matilah Amerika (hegemoni Amerika)").
Oleh karena itu, dapat dilihat bagaimana Iran dan Ansarullah mengungkapkan, dalam tradisi Islam yang sama, penolakan mereka terhadap naturalisasi kehadiran kekuatan asing yang menindas di wilayah tersebut.
Para pejabat Iran telah berulang kali menegaskan bahwa tindakan pemerintah Yaman di Laut Merah tidak didikte oleh Teheran. Ini adalah negara berdaulat yang membuat keputusannya sendiri.[IT/AR]
Story Code: 1112064